Apakah yang di maksud dengan teluh? Menurut kesusastraan Jawa atau ilmu Kejawen, teluh atau teluh Braja memiliki arti baju atau kekuatan jin, syetan atau kekuatan gaib dan lain sebagainya. Yakni sebuah istilah yang menunjuk kepada hawa nafsu yang meluap luap yang tanpa dapat dikendalikan. Akibat hal tersebut dampaknya akan bisa menimbulkan berbagai masalah, petaka, penyakit dan kesengsaraan lain. Daya kekuatan tersebut diperlambangkan dengan warna jenar kekuning kuningan. Warna ini mengandung cahaya manik manik, emas, tembaga, besi, belerang dan timah. Maknanya adalah memiliki sifat atau perwatakan yang tidak baik, seperti: menjauhi dan dijahui sesama manusia, karena dengki, tamak, suka panas hati, cuek , kelesa (Jawa: jahil, metakhil panasten ora open}. Lantaran perwatakan tersebut, dampaknya kerap kali dibenci oleh sesamanya, dan terjerumus ke dalam lembah kesengsaraan dan dekat dengan bahaya dan jauh dari rasa bahagia.
Teluh atau Teluh Braja merupakan bagian dari sebuah kekuatan atau daya tenaga yang terkandung dalam badan wadag manusia yang bercampur dengan dayan tenaga lain, seperti: Pulung, Wahyu, Andaru dan Guntur. Masing masing sifat itu apa yang dalam kesusastraan Jawa disebut derajat, tetapi tanpa “semat”
Setiap orang memiliki kandungan bakat kelima derajat tersebut. Berhubung dengan itu, setiap manusia memiliki kewenangan dan kemampuan untuk memilih dan memelihara serta mengembangkan derajad masing masing, dan setiap manusia bisa juga untuk menekan, mengendalikan serta serta melenyapkan watak atau derajad tersebut. Bagi mereka yang dapat menekan semua sifat jahat (yang terkandung dalam Teluh dan Guntur), maka manusia akan menempuh jalan yang terbaik. Sementara sebaliknya, bagi manusia yang suka memelihara sifat jahat dan menekan sifat baik, maka mereka akan menjadi manusia yang berwatak jahat. Sebab orang jahat jiwanya dikuasahi oleh sifat teluh. Bahkan masyarakat lain akan menyebutnya sebagai tukang teluh, yakni orang yang suka berdengki dengan sesamana serta suka berbuat kejahatan.
Di Indonesia, ilmu teluh sudah dikenal sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum orang mengenal peradaban (sebelum masuknya agama Hindu, Budha, Nasrani dan Islam). Mantra gaib yang diperoleh dengan jalan bertapa ini, dimanfaatkan oleh para pemiliknya untuk melakukan tindak kejahatan atas permintaan orang lain untuk membunuh musuh atau pesaingnya.
Konon, kala itu para dukun teluh, selain menggunakan burung hantu atau kukukbeluk sebagai medianya, juga menggunakan kepala binatang, biasanya kepala babi hutan yang baru dipotong dengan diselipi senjata, biasanya cundrik atau keris yang sudah diberi mantra. Kemudian dengan kekuatan gaib yang dimilikinya media teluh tersebut dikirimkan untuk mencari dan membunuh sasarannya.
Akan tetapi pada perkembangannya, dengan semakin sempurnanya tingkat penguasaan manusia kepada mantra ilmu gaib, manusia kemudian dapat memanfaatkan potongan kepala makhluk halus biasanya dari golongan genderuwo sebagai alat peraga teluhnya untuk mencelakakan orang yang akan menjadi sasaran kejahatannya. Benarkah…???