Gunung Mahameru (Semeru) di Lumajang, Jawa Timur dikenal sebagai gunung berapi tertinggi di pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru, 3.676 mdpl. Sedangkan puncak Mahameru lebih dikenal para pendaki dan ahli gunung api dinamakan Joggring Saloko. Gunung Semeru memiliki keterikatan budaya spiritual Hindu.
Seperti legenda kabupaten Lumajang yang memiliki sebuah nama kuno ‘Lamajang’ berasal dari kata Luma artinya rumah dan Hyang artinya Dewa. Jadi Lamajang artinya rumahnya para Dewa. Lamajang secara resmi dikenal pada tahun 1255 masehi dengan adanya prasasti Mula Malurung dimana daerah ini menjadi daerah bawahan kerajaan Singosari dan diperintah oleh Adipati Nararya Kirana.
Mahameru sendiri menjadi sebuah benteng alam bagi Lamajang yang pada saat itu sebagai basis utama agama Hindu. Apalagi saat keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam. Membuat masyarakat Majapahit yang masih ingin mempertahankan Hindu lari menuju Lumajang, sebelum akhirnya menuju Bali maupun Nusa Tenggara.
Hubungan Mahameru dengan perkembangan Hindu saat ini dibuktikan dengan adanya Pura Mandhara Giri Semeru Agung yang terletak di lereng gunung Semeru. Pura tersebut merupakan salah satu pura yang dianggap masyarakat Hindu Indonesia sebagai Pura yang keramat karena letaknya yang dekat dengan Gunung yang menurut legenda adalah Gunung paling tua. Tidak salah apabila sebuah sebutan Mahameru disematkan untuk gunung berapi ini.
Pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali. Mereka percaya bahwa Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak gunung Mahameru (Himalaya) di India, atau pucak Gunung Semeru di Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda, memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru dan dikenal pula dengan nama gunung Kailasa atau gunung Himawa, yang bersalju abadi. Di sanalah Syiwa menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Sang Dewi Gunung.
Kisah pandangan Hindu Siwaistis itu tampak sesuai dengan pandangan moyang Nusantara, tak terkecuali Bali. Dimana keduannya berorientasi akan kesucian sebuah gunung. Dalam tradisi asli Nusantara, yang oleh kalangan ahli arkeologi disebutkan terpengaruh budaya Austronesia dengan pusat di Yunan Selatan itu, gunung dipandang sebagai tempat bersemayam roh suci leluhur. Pandangan ini tampak sebagai kelanjutan tradisi sebelumnya yang mengenal sistem pekuburan berundak-undak, layaknya gunung. Belakangan, karena pengaruh Hindu, gunung pun dipandang sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Mengutip dari berbagai sumber, gunung Mahameru yang ditulis dalam kitab Kuna Tantu Pangelaran pada Abad 15 oleh masyarakat Jawa Kuno. Gunung Mahameru berasal gunung Meru di India yang dipindah oleh Dewa Wisnu yang menjelma sebagai kura-kura raksasa dengan cara digendong. Untuk menjaga gunung Meru tidak jatuh, Dewa Brahma menjelma sebagai ular panjang dan membelitnya.
Dipindahkanya gunung Meru, dikarenakan pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa menguncang setiap pulau di muka Bumi. Demi memaku pulau pulau Jawa itu, Dewa Wisnu memindah gunung Meru tempat bersemayamannya para Dewa. Setelah menemukan pulau Jawa yang terombang-ambing, Dewa meletakkan gunung Meru di bagian barat, ternyata bagian timur pulau terangkat. Kemudian Wisnu dan Brahma memindah ke bagian arah timur pulau Jawa, tetapi serpihan gunung Meru yang tercecer menjadi jajaran pengunungan dari Barat ke Timur.
Ketika Gunung Meru sudah ditaruh di bagian timur, pulau Jawa tetap saja miring. Sehingga para Dewa memutuskan memotong bagian gunung dan ditempatkan dibagian barat laut. Penggalan Meru sekarang menjadi Gunung Pwaitra dan lebih dikenal gunung Penanggungan. Bagian utama gunung Meru dijadikan bersemanyamnya Dewa Shiwa dan sekarang lebih dikenal dengan nama gunung Mahameru atau Semeru.
Ketika sang Hyang Siwa datang ke pulau Jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau yang ditempatkan gunung Meru dinamakan pulau Jawa. Sementara itu, menurut cerita rakyat umat Hindu Tengger di Kecamatan Senduro, kenapa gunung Semeru diletakkan di pulau Jawa. Hal itu karena kondisi bumi saat itu sedang miring dan kerap terjadi bencana yang menimpa manusia.
Penyebab bumi menjadi miring karena gunung Meru di India terlalu berat. Ada juga yang menganggap Gunung Meru itu adalah gunung tertinggi di dunia yakni Mount Everest. Dewa Siwa yang mengetahui bencana alam kerap menimpa umat manusia kemudian memenggal puncak gunung Meru yang dijadikan tempat bersemanyam para Dewa. Dengan menggunakan Trisulanya, puncak gunung Meru berhasil dipindah ke pulau Jawa.
Setelah dipindah Dewa Shiwa, posisi dunia normal kembali dan bencana alam tidak terjadi di mana-mana. Masyarakat Hindu Tengger di Senduro Lumajang dan Bali juga ada yang mempercayai kalau gunung Meru yang kini dikenal dengan gunung Mahameru atau Semeru tempat bersemanyamnya para dewa. Untuk menyembah pada dewa, umat Hindu Bali bersama Umat Hindu Tengger mendirikan tempat ibadah pura di Senduro dengan nama Pura Mandhara Giri Semeru Agung.
Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang gunung Meru. Gunung ini dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan kayangan. Kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak gunung Meru. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewa-Dewa atau makhluk halus. Selanjutnya daerah bergunung-gunung masih dipakai manusia Jawa sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib.
Menurut orang Bali, gunung Mahameru dipercayai sebagai bapaknya gunung Agung di Bali dan dihormati masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa gunung Mahameru dilakukan orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa gunung Mahameru. Orang naik sampai puncak Mahameru ada yang bertujuan untuk mendengar suara-suara gaib. Selain itu juga ada yang memohon agar diberi umur yang panjang.
Bagaimana pun alasan orang naik ke puncak Mahameru, kebanyakan orang ditakutkan Mahkluk halus yang mendiami daerah keliling gunungnya. Roh halus tersebut biasanya adalah roh leluhur yang mendiami tempat seperti hutan, bukit, pohon serta danau. Roh leluhur biasanya bertujuan menjaga macam-macam tempat dan harus dihormati. Para pendaki yang menginap di danau Ranu Kumbolo sering melihat mahkluk halus penunggu Ranu Kumbolo.
Tengah malam ada cahaya berwarna oranje di tengah danaunya dan tiba-tiba berubah wujud menjadi sesosok hantu wanita. Biasanya hanya orang yang punya kekuatan mistis bisa melihat makhluk halus itu dan bicara dengannya. Terserah orang percaya pada makhluk halus atau tidak, tetapi banyak orang Jawa yang percaya bahwa daerah Semeru banyak didiami oleh makhluk ghaib. Bahkan ada pantangan bagi pendaki Semeru, tidak boleh berkata untuk menaklukkan puncak keabadian. Jika sampai melanggar bisa mengalami celaka seperti kesasar dan meninggal dunia jatuh ke jurang lereng Semeru.
Di Semeru ini juga ada urutan mitologi mengenai sumber-sumber mata air yang di anggap suci di Lumajang. Di mulai dari kisah patung Arcapada, dimana patung ini adalah patung sepasang laki-laki dan perempuan. Arcapada bisa diartikan sebagai Adam dan Hawa (dalam agama Islam maupun Kristen) dan sebagai Kamajaya dan Kamaratih (dalam kepercayaan orang Hindu).
Di bawah Arcapada terdapat sumber air yang mirip dengan yang terdapat di Watu Klosot yang dinamai Sumber Mani. Bukan tanpa dasar mengapa sumber air ini dinamai Sumber Mani. Dalam kepercayaan Hindu, Kamajaya dan Kamaratih memulai kehidupan dari Sumber Mani untuk melanjutkan kehidupan generasi selanjutnya. Sesuai dengan namanya, Sumber Mani. Mani adalah Sperma dimana dialah awal mula adanya kehidupan. Oleh karena itu Sumber Mani adalah sumber air suci pertama yang letaknya paling tinggi, yang kemudian turun menjadi Ranu Kumbolo, Ranu Pani, Ranu Regulo, Watu Klosot dan terakhir di Selokambang.