Menyebut Nama Galunggung adalah sebuah gunung yang berada di tatar Sunda, tepatnya berada sekitar 20-an kilometer arah barat daya Tasikmalaya. Namun, tidak banyak yang tahu, di Galunggung ini dahulu pernah ada sebuah ke-batara-an atau kabuyutan yang sangat berpengaruh di tatar Sunda. Bahkan, konon raja yang akan berkuasa di Sunda terlebih dahulu harus mendapat restu dari kabuyutan Galunggung ini.
Untuk mengenal lebih jauh tentang Kabuyutan Galunggung yang sangat berpengaruh tersebut. Tidak ada salahnya jika terlebih dahulu kita mengenal secara singkat riwayat gunung yang meletus terakhir pada tahun 1982 ini, hingga kemudian menyisakan ketinggian 2.168 mdpl.
Letusan terakhir tersebut bertipe vulcanian vertical atau penggambarannya seperti cendawan bom atom di Nagasaki dan Hirosima itulah kira-kira. Hebatnya, letusan yang mirip cendawan tersebut mencapai 20 kilometer ke angkasa yang diikuti semburan debu halus yang menghujani Priangan selama 4 bulan. Tak kurang dari 100.000 ha daerah lereng Galunggung luluh lantak di hujani batu dari puncak. Hikmahnya, batu dan pasirnya menjadi berkah dikemudian hari untuk ditambang.
Kini, memang gunung Galunggung sedang tidur lelap, dan bahkan menjadi obyek wisata yang layak untuk dikunjungi. Namun yang harus di waspadai, bukan berharap lho ya, menilik dari sejarahnya siklus 43 tahun meletus melekat pada gunung Galunggung ini. Demikianlah kisanak sejarah suiiiingkat gunung yang oleh masyrakat sekitar diibaratkan dengan singa yang terlelap tersebut. Nah, sekarang kita beranjak ke topik utama tulisan ini, tentang kabuyutan Galunggung.
Memincang tentang kabuyutan Galunggung tidak lepas dari ajaran kebatinan Jati Sunda, kelompok inilah yang bisa dikatakan pewaris dari para batara atau buyut yang ada di Galunggung. Keberadaan kabuyutan ini meninggalkan satu tempat keramat yang oleh warga sekitar menyebutnya sebagai ‘Sanghyang Tapak Parahyangan’ atau kalau di Indonesia-kan berarti bekas petilasan para leluhur awal.
Mengutip dari cerita turun temurun dari kelompok kebatinan Jati Sunda tentang sejarah awal tatar Sunda ini sangat menarik. Mereka meyakini, tatar Sunda pada jaman dulu adalah daerah perairan yang hanya terdapat satu daratan yang tidak terlalu luas (jaman air). Daerah tertinggi dari daratan itu adalah puncak dari sebuah gunung yang kini disebut Galunggung. Pada jaman itu puncak Galunggung adalah daratan tertinggi di tatar Sunda.
Pada hari yang diberkahi, tibalah sebuah perahu besar yang memuat banyak sekali manusia dan hewan peliharaan. Sebagian orang-orang perahu itu turun dan tinggal menetap membangun komunitas manusia yang baru. Itulah nenek moyang manusia Sunda sekarang, dan menjadikan Galunggung sebagai sebuah kabuyutan atau ‘Sanghyang Tapak Parahyangan’. Cerita ini mirip dengan cerita Nabi Nuh As.
Galunggung sebagai sebuah kabuyutan secara jelas tertuang dalam naskah lontar kuno yang ditemukan di Ciburuy, Garut. Naskah lontar kuno ini di beri kode Kropak 623 dan diyakini sebagai lontar tertua di Indonesia.
Kropak 632 ini diperkirakan dibuat pada tahun 1030-an masehi. Dalam naskah itu diberitakan bahwa Rakeyan Darmasiksa memberikan petuah kepada anak cucunya tentang pegangan hidup, dan bahwa kabuyutan di Galunggung harus dijaga dan dipertahankan agar tidak dikuasai oleh orang asing.
Mengapa kabuyutan perlu dijaga? Tentunya karena kabuyutan adalah cikal bakal dan simbol jatidiri. Rusaknya kabuyutan Galunggung berarti pudarnya jatidiri dan nilai-nilai asli yang khas dari masyarakat Sunda.
Wibawa Galunggung sebagai sebuah kabuyutan, nampak pula dari petikan ‘Babad Tanah Jawi’ dan ‘Carita Parahyangan’, bahwasanya putra sulung Raja Galuh yang bernama Sempak Waja menjadi Batara (raja pandita) di Galunggung dengan gelar Batara Dangiang Guru, yang melantik raja-raja yang akan berkuasa.
Kedudukan Batara di Galunggung yang amat tinggi didukung pula oleh penemuan naskah kuno lain dengan kode Kropak 406, yang isinya menerangkan kurang lebih sekitar tahun 1030-an, datanglah Darmasiksa (Sri Jayabupati) menghadap Batara keturunan Batara Dangiang Guru Sempak Waja, meminta wilayah yang kemudian diberi nama oleh Batara yang berkuasa itu sebagai ‘tempat tinggal Sang Karma’ (Saunggalah).
Darmasiksa atau Sri Jayabupati menurut Carita Parahyangan adalah anak dari Sang Lumahing Winduraja. Sedangkan menurut naskah Pangeran Wangsakerta, Jayabupati adalah raja Sunda ke-20 yang memerintah tahun 1030-1042.
Demikianlah Galunggung disebut sebagai kabuyutan, sebagai ‘Sanghyang Tapak Parahyangan’ yang sangat dikeramatkan dan dijaga oleh para ‘raja pandita’ (Batara) yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi di atas raja-raja biasa.
Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul belakangan adalah ‘turunan’ dari kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh, Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.
Membahas kabuyutan Galunggung tidak bisa lepas dari topik para Batara yang mendudukinya. Sejauh ini naskah-naskah kuno paling banyak menyebutkan nama ‘Batara Dangiang Guru Sempak Waja’ yang menjadi Batara di Galunggung. Batara-batara lain sesudahnya pun kadang disebut dengan menyertakan nama besar Dangiang Guru Sempak Waja, seperti halnya yang tertulis pada Kropak 406 di atas.
Dari Prasasti yang ditemukan di Gegerhanjuang, Tasikmalaya, diketahui nama seorang Batara wanita. Mungkin Batara wanita satu-satunya, bernama Batari Hyang, yang pada tahun 1111 mengubah bentuk kebataraan menjadi kerajaan, yaitu Kerajaan Galunggung. Menurut versi lokal, diketahui setidaknya enam orang Batara yang memerintah setelah Batari Hyang tahun 1111, dan tidak diketahui jumlah Batara sebelum masanya.
Versi lokal ini menyebutkan sebuah nama Sanghyang Puhun sebagai Raja Pandita Galunggung yang pertama, namun belum disebut Batara. Para Batara penguasa Galunggung yang dikenal masyarakat lokal diantaranya Sanghyang Puhun, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wiroga, Batara Tunggal, Ratu Demung Kamulan, Batara Sakti, Batara Siluman, Batara Sombeng, Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu dan Batari Hyang. Versi lokal ini juga menambahkan nama Batara Gunawisesa.
Batara Gunawisesa adalah kakak sulung Batara Kuncung Putih. Adik-adik Batara Gunawisesa dari yang tertua hingga yang termuda adalah Wahyu Cakraningrat (makam di Curug Tujuh Galunggung), Ambu Sarigan (makam di Dinding Ari Galunggung), Ambu Hawuk alias Nyi Mas Garsih (makam di Dinding Ari Galunggung), dan Batara Kuncung Putih (makam di Kawah Galunggung).
Melanjutkan informasi dari prasasti Gegerhanjuang bahwasanya pada tahun 1111 masehi terjadi perubahan bentuk pemerintahan dari bentuk kebataraan menjadi kerajaan, tentulah menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan kedua bentuk pemerintahan tersebut. Sejauh ini belum ada rujukan pustaka yang menerangkan hal itu.
Kemudian barulah pada tahun 1111 masehi, yakni pada jaman Batari Hyang, Batara tidak hanya mengurusi masalah ruhani masyarakat, namun juga masalah kompleks sehari-hari seperti kesejahteraan rakyat, politik, budaya, dan lain-lain.
Pertanyaannya, sebagai tokoh ruhani, apakah ‘agama para Batara ini?
Jika kita tilik dari istilah ‘batara’ tentu sangat kental dengan Hindu yang dibawa dari India. Bisa jadi para Bataradi Galunggung beragama Hindu. Tapi bisa jadi juga tidak, meski istilah lekat dengan Hindu. Danasasmita dalam tulisannya berjudul ‘Batu Nyantra dari Tapos’ memberikan satu pernyataan bahwa agama orang Pajajaran (Sunda, Parahyangan) mengandung tiga unsur utama, yakni ‘Hinduisme’, ‘Budhisme’, dan ‘Jati Sunda’ dengan pemuliaan para leluhur. Dari ketiga unsur tersebut, ternyata ‘Jati Sunda’ yang paling mendominasi.
Jika merujuk pada pendapat Danasasmita pada tulisan berjudul ‘Batu Nyantra dari Tapos’ dan ‘Hubungan Sri Jayabupati dengan Prasasti Geger Hanjuang, ada satu simpulan yang dapat kita garis bawahi secara khusus menyangkut alam spiritual masyarakat Sunda kuno, terutama dalam hal ini para Batara di Galunggung.
Berdasar istilah-istilah dan nama-nama yang terdapat pada prasasti dan naskah kuno lainnya, para ahli berpendapat bahwa agama yang berkembang di tatar Sunda adalah Hindu. Namun setelah diteliti, apabila Hindu yang dianut, maka Hindu orang Sunda berbeda dengan Hindu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hindu di tatar Sunda tidak mengenal kasta, yang ada hanyalah feodalisme biasa.
Agama Hindu yang agak cocok dengan alam spiritual di tatar Sunda adalah Hindu Tantrayana, yakni perpaduan Hindu dan Budha, namun lebih mengarah ke Budha. Hal ini didukung oleh penemuan “Batu Nyantra” di Tapos, Bogor, pada tahun 1979, yang pada bagian atasnya terdapat goresan serupa gajah, dimana gajah adalah simbol aliran Tantrayana yang lebih mengarah ke Budhisme. Gambar gajah terdapat pula pada prasasti Kebon Kopi yang ditemukan di Kampung Muara, Cibungbulang, Bogor. Artinya, Budhisme lebih dominan daripada Hinduisme dalam pengertian ‘Siwaisme’ pada masyarakat tatar Sunda kala itu.
Meminjam ungkapan Danasasmita, meninjau sejarah keagamaan di India, sebenarnya Budhisme dapat disebut sebagai salah satu aliran dalam agama Hindu. Sedangkan, agama Budha sendiri pada dasarnya lebih cenderung merupakan filsafat daripada agama. Ajaran agama Budha pada asal muasalnya tidak mengenal ritual ibadat karena menurut pahamnya keberhasilan mencapai nirwana semata-mata bergantung pada kebenaran karma (perbuatan) belaka.
Apa yang membedakan Budhisme dengan Hinduisme ialah watak Budhisme yang kosmopolit, dapat dianut oleh mereka yang bukan Hindu. Hinduisme pada dasarnya bercorak Aryan, bercorak khas Hindu, kerena menurut doktrin yang mendasarinya, seorang Hindu dilahirkan dalam kasta. Agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Agaknya nilai-nilai Budhisme inilah yang menjadi bagian ‘irisan’ dengan falsafah asli Sunda, yaitu ‘Jati Sunda’.
Dalam pandangan saya secara pribadi, bukan Hinduisme atau Budhisme yang mendominasi alam spiritual orang Sunda, terutama para Batara di Galunggung. Hinduisme dan Budhisme hanya memperkaya khasanah spiritual dan bahasa. Logika sejarah mendukung akan hal ini, bahwa semenjak filtrasi besar-besaran ajaran Islam dari Cirebon dan Banten abad 16 di tatar Sunda, Hinduisme dan Budhisme begitu mudah sirna, sementara ‘Jati Sunda’ masih tetap ada dan hidup di hati masyarakat Sunda hingga kini. Jadi mana yang lebih berurat-berakar : Hinduisme – Budhisme atau ‘Jati Sunda’?
Ajaran ‘Jati Sunda’ mengajarkan keimanan kepada Tuhan Yang Satu, hidup sederhana (meurih), saling tolong menolong, bersahaja, dan ‘kembali ke alam, yakni bahwa alam dan manusia saling memberi sebab – akibat. Ajaran Jati Sunda ini masih nampak kental pada beberapa komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda, diantaranya masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh dan Kampung Pulo di Garut, Kampung Urug di Bogor, Kampung Ciptarasa – Sirnarasa di Sukabumi, dan Kanekes di Banten.
Demikianlah, bahwa banyak istilah Kehinduan yang memperkaya khasanah bahasa di tatar Sunda, khususnya di kabuyutan Galunggung, yang faktanya tak terbantahkan. Begitu pula sumbangan ajaran Hinduisme dan Budhaisme yang memperkaya falsafah asli Jati Sunda. Jati Sunda agaknya sudah ada jauh sebelum Hinduisme – Budhisme dikenal di Galunggung.
Jati Sunda mungkinkah ‘agama’ yang dibawa para Parahyangan (leluhur awal) yang merapat di Galunggung pada jaman air seperti cerita yang ditutur yang berkembang di sekitaran Galunggung? Tentu kita masih menunggu kajian yang lebih konprehensif dari para ahli.