Ilmu atau kawruh tentang seks memang selalu manarik perhatian. Bahkan lebih menarik dari cuwitan galau yang akhir-akhir ini ini memenuhi pemberitaan media. Namun kita harus akui, sebagai masyarakat dengan adat ketimuran, seks adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan. Ya, kesan wagu (tabu) memang melekat dengan kata seks ini.
Kita terkadang gamang untuk berbicara tentang seks, apalagi sampai menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Kita khawatir dituding tak tahu diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman tentang seks, yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
Dalam banyak literasi, pengertian seks jika dibatasi alat kelamin semata, tentu sangat dangkal. Karena hal ini menafikan kenyataan-kenyataan fisiologis sebagaimana ditelanjangi dalam buku-buku ilmiah kedokteran. Pun sebaliknya, jika hanya diartikan sebagai persetubuhan saja, tentu juga naif, karena akan mengesampingkan realita cumbu rayu, ransangan-ragsangan pada daerah erotis, mantra-mantra seksual dan cinta kasih.
Serat Centhini bisa jadi adalah satu-satunya manuskrip kuno karya asli orang Indonesia yang secara gamblang menguraikan tentang berbagai aspek dan dimensi seks. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Serat Centhini adalah manuskrip Kamasutra versi Jawa. Manuskrip ini mulai ditulis pada Januari 1814 oleh tim pengarang Keraton Surakarta yang terdiri dari Adipati Anom Amengkunegara atau Paku Buwana V, Ki Ngabehi Rangga Sutrasna, Ki Ngabehi Yasadipura II dan Ki Ngabehi Sastradipura, pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820).
Ya,tidak berlebihan kiranya jika kita membincang perilaku sosial dan budaya Jawa, khususnya urusan seks, sepertinya tidak lengkap bila tidak menyimak Serat Centhini terlebih dulu. Di jamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya tulisan yang berani dan mengungkap persoalan secara gamblang serta apa adanya. Menariknya lagi, penulis atau penggubahnya adalah seorang bangsawan.
Para pemikir atau intelektual Jawa di jamannya dulu memang sudah menanam keyakinan bahwa seks merupakan salah satu bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks adalah sesuatu yang logis dan alamiah. Sejak dulu juga, para pemikir Jawa sudah memandang dan berpendapat bahwa seks atau seni bercinta sebagai bagian dari harmoni kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Karena itulah banyak para pemikir atau intelektual Jawa di masa lalu yang menulis ‘beragam pengetahuan dan persoalan’ tentang seks. Serat Centhini merupakan salah satu di antaranya. Kemudian pemberian pemahaman tentang seks juga terdapat di dalam Serat Gatoloco dan Serat Dharmogandhul.
Persoalan seks yang sangat pribadi pun diungkap secara terbuka, terang benderan jika kita meminjam bahasa politisi jaman sekarang, dan tanpa basa-basi di dalam Serat Centhini. Hebatnya lagi, persoalan seks yang diungkap tak sebatas yang ada pada kehidupan masyarakat kecil atau rakyat jelata, tapi juga yang terjadi di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.
Dalam Serat Centhini masalah seksual menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal tanpa tedeng aling aling, paradoksal dengan etika sosial Jawa yang dikenal puritan dan ortodoks. Masalah seks dibicarakan dalam berbagai versi dan kasus, seperti, menyangkut pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika dan tata cara bermain seks, dan gaya persetubuhan.
Seks juga dibicarakan dalam banyak varian lainnya, misalnya, hubungan seks dengan perkawinan, seks dengan kesetiaan suami-istri, seks dengan pengobatan, seks dengan pemerkosaan, seks dengan pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, seks dengan asal usul kehidupan dan ilmu kasunyatan.
Seks sebagai ekspresi pelampiasan hasrat-hasrat hedonis, dalam pandangan Jawa, berlaku agregrasi atau bentuk hubungan antara kecantikan perempuan dengan kewibawaan lelaki yang bersifat politis. Kecantikan juga dipandang sebagai lelangen, bahkan berlaku asumsi, jika raja semakin banyak memiliki istri yang cantik, maka semakin meningkatlah derajat kewibawaannya.
Hal ini juga tersurat dalam Serat Cemporet karya R. Ngabehi Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwana V hingga Paku Buwana IX, disebutkan bahwa bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelangen (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana asal usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu memiliki kecantikan yang hebat, ia akan dapat menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki.
Aspek penampilan luar (fisik) yang bersifat genital pada tubuh perempuan juga menjadi fokus perhatian yang lebih selain penampilan nonfisik. Hal seperti ini juga tampak pada budaya katuranggan yang sedemikian konkret mengapresiasi wacana ketubuhan.
Budaya katuranggan, misalnya, bisa ditemukan dalam tradisi gemblak pada kultur warok Ponoragan. Gemblak adalah lelaki yang berperilaku layaknya seorang wanita yang lemah gemulai (baca: transgender) dan menjadi patner sang warok dalam bercinta.
Adapun aspek nonfisik menjadi fokus perhatian, misalnya, dalam urusan memilih istri. Dalam pandangan Jawa, istri yang baik harus berwatak;
Sama, memiliki welas asih kepada sesama;
Beda, mampu memilah apa yang lebih penting yang hendak dilakukan;
Dana, suka memberi kesenangan kepada sesama;
Dhendha, mampu menilai yang baik dan buruk atas dasar empan-empan (tempat, keadaan, situasi, dan kondisi);
Guna, mengerti wewenang dan kewajiban terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perempuan;
Busana, mengetahui dan menerapkan semua yang dimiliki sesuai maksud dan situasi;
Asana, bisa menata dan memelihara rumah agar tampak baik dan menyenangkan hati;
Sawandana, mampu menyelaraskan keinginan lahir dan batin, dalam meladeni suami seperti meladeni diri sendiri;
Saekapraya, mampu menyelaraskan keinginan diri sendiri dengan keinginan suaminya; dan
Sajiwa, memiliki kesetiaan kepada suami seperti kesetiaan kepada dirinya sendiri. Terminologi lain yang juga dipakai ialah bobot, bibit dan bebet.
Ajaran bercinta dalam pandangan Jawa meliputi;
Asmaranala atau sengseming nala, dua insan yang bercinta hendaknya dilandasi oleh cinta kasih yang tumbuh dalam hati;
Asmaratura atau sengseming pandulu, dua insan yang becinta hendaknya dilandasi oleh rasa saling ketertarikan kepada kecantikan dan ketampanan pasangannya;
Asmaraturida atau sengseming pamirengan, dua insan yang bercinta hendaknya larut dalam sendagurau mesra;
Asamaradana atau sengseming pocapan, bahwa syair, puisi dan kata-kata indah -pujian terhadap kekasihnya- hendaknya dilantunkan oleh sepasang kekasih untuk menumbuhkan cinta kasih agar semakin bergelora;
Asmaratantra atau sengseming pangarasan, bahwa ciuman merupakan mantik birahi yang dahsyat, karenanya sepasang kekasih yang bercinta hendaknya mempelajari teknik-teknik berciuman;
Asmaragama atau sengseming salulut, bahwa puncak dari karonsih (bercinta) adalah salulut, yaitu masuknya penis kedalam vagina, untuk itu perlu dipastikan kesiapan masing-masing agar mampu memberikan kenikmatan paripurna.
Dalam kitab klasik Jawa, unsur laki-laki dipandang sebagai upaya atau alat mencapai kebenaran yang agung. Sedang wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Oleh karena itu persetubuhan dipahami sebagai bakti seorang istri kepada suaminya, dan merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya.
Puncak ajaran serta penghayatan seks dalam tradisi Jawa, sebagaimana tersebut dalam Serat Centhini pupuh asmaradana, untuk mengetahui asal usul kamanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup manusia.
Hal yang sama juga terdapat dalam Serat Gatholoco, bahwa seks merupakan penyatuan antara dua oposisi yang sebenarnya adalah pasangan binernya, baik pasangan dalam mikrokosmos, makromosmos maupun metakosmos. Semua pasangan biner menyatu dalam satu kesatuan yang harmonis. Karenanya, yang laki-laki dan yang perempuan akhirnya harus melebur manjadi satu kesatuan. Inilah harmoni total.
Akhirnya, tidak bisa dipungkiri bahwa Serat Centhini adalah manuskrip Kamasutra versi Jawa, juga paling lengkap karena mengupas seks dari berbagai aspek dan dimesinya. Bahkan, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa Serat Centhini merupakan pelajaran seks dari Raja Jawa.