Cowongan Tradisi Unik Memohon Turun Hujan Khas Banyumas

Cowongan Tradisi Unik Memohon Turun Hujan Khas Banyumas

Cowongan, tradisi meminta hujan yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya, boleh jadi belum banyak dikenal anak-anak muda. Bahkan, mereka sepertinya tidak tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh. Namun, tidak demikian dengan siswa-siswi SMA Santo Agustinus Purbalingga (Jateng). Mereka mencoba mengenal tradisi ini dan mencoba menampilkannya kepada masyarakat luas.

”Cowong-cowong penentang,

penintange tali gandek,

gandek mandek-mandek,

midondangi jaluk pitulung marang Nyi Ratu,

kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan”.

Demikian penggalan nyayian Jawa yang merupakan bagian dari doa-doa untuk meminta hujan. Doa itu dipanjatkan agar roh Dewi Sri dan Dewi Larasati (dewi kesejahteraan) bersedia memasuki boneka cowongan dan berkomunikasi dengan warga agar bencana kekeringan dapat segera teratasi.

Cowongan 

Salah seorang seniman di Purbalingga, Chune Yulianto, yang menjadi pelatih seni di SMA Santo Agustinus mengungkapkan, Cowongan merupakan tradisi memohon kemurahan Yang Maha Kuasa melalui Dewi Sri (dewi padi) agar diberikan hujan untuk  petani. Cowongan, lanjut Chune, sejatinya merupakan boneka yang hampir mirip jelangkung. Cwongan dibuat dari irus atau gayung dari tempurung kelapa, kukusan, kayu, dan bambu, yang disusun menyerupai boneka pengusir burung yang dipasang di tengah-tengah sawah.

”Cowongan juga dilengkapi dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan corak batik kecoklatan,” ujar Chune.

Menurut Chune, untuk menggelar tradisi Cowongan harus ada syarat yang wajib dipenuhi. Seluruh rangken (bekas jari-jari atap rumah dari bambu) yang masih difungsikan warga harus dimusnahkan. ”Itu permintaan dari Dewi Sri. Warga harus menyanggupi karena menurut Dewi Sri, batang bambu yang sudah rusak akan menahan turunnya hujan,” tutur Chune.

Gelaran ritual Cowongan biasanya diiringi musik gamelan. Doa-doa permohonan hujan dalam ritual cowongan juga dipanjatkan oleh warga. Setelah melafalkan doa itu, kemudian diiringi lagu Ilir-ilir.

Tradisi Cowongan

Tidak lama berselang, boneka Cowongan mulai bergetar dan bergerak tidak tentu arah mengikuti liukan asap dupa. Gerakan boneka ini terlihat sangat merepotkan para gadis yang memegangnya. ”Mereka harus rela berlari menuju kerumunan penonton demi menuruti keinginan roh dalam Cowongan untuk sekedar menunjukan eksistensi alam mereka dalam berinteraksi dengan alam manusia,” ujar Chune.

Doa yang dipanjatkan melalui tradisi Cowongan akan berhasil jika sebelum acara ritual berakhir akan bertiup angin dingin serta muncul kilat dari arah gunung Slamet. ”Jika pertanda itu muncul, hanya dalam beberapa waktu setelah Cowongan digelar, biasanya hujan akan turun,” tutur Chune.