Sendang Jimbung adalah suatu mata air yang terdapat di daerah Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. Seperti diketahui memang Klaten banyak memiliki mata air alami yang tersebar di berbagai pelosok.
Keberadaan mata air alami ini banyak memberi manfaat khususnya sebagai sumber air bagi sebagian besar warga yang tinggal di sekitar lokasi. Walaupun tidak seperti mata air alami lain yang berada di daerah Klaten utara, air yang dihasilkan sendang ini meski tidak melimpah tetapi tersedia setiap saat tanpa kenal musim. Warga memanfaatkan air yang tersedia ini untuk memenuhi kebutuhan air bersih baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk mandi, mencuci dan keperluan lainnya. Kelebihan air ini mengalir ke selokan di lokasi tersebut dan mengalir ke persawahan untuk keperluan pengairan.
Sumber mata air di Sendang Jimbung ini berupa dua kolam yang terpisah di lokasi ini. Di pinggiran kolam juga terdapat dua buah pohon besar yang sudah berumur puluhan tahun. Keberadaan pohon besar inilah yang diduga dapat mengikat dan menyimpan air tanah dari sekitar lokasi sendang. Pohon sejenis pohon randu gumbala dan pohon jaranan ini memberikan kesan teduh sekaligus suasana mistik di area sekitar sendang.
Aura mistik ini ternyata saat ini juga karena adanya kepercayaan beberapa orang tertentu yang menjadikan Sendang Jimbung untuk mencari pesugihan. Pesugihan ini didapat dengan jalan bersemedi di sekitar sendang dan melakukan nadar kepada Kyai Poleng. Secara fisik Kyai Poleng ini diujudkan dalam bentuk keberadaan bulus yang terdapat dalam kolam mata air utama yang persis di bawah pohon randu itu. Menurut cerita yang berkembang, ada yang meyakini bahwa bulus Jimbung semula jelmaan dari Kyai Poleng dan Remeng. Keduanya adalah abdi dari Putri Wahdi.
Sejumlah warga kemarin mengemukakan, jumlah bulus Jimbung sebenarnya lebih dari sepuluh ekor. Dari sejumlah bulus itu, ada yang cukup besar, yang diperkirakan memiliki berat sekitar 125 Kg dan diameter 155 Cm. Bulus itu bersembunyi di dalam gua di bawah pohon randu gumbala dan pohon jaranan yang sudah berusia ratusan tahun. Salah satu bulus tersebut sudah mati beberapa bulan lalu dan oleh Dinas Pariwisata Klaten dilarung ke laut. Kalau siang hari bulus itu tidak tampak tetapi terdapat beberapa orang yang mungkin sebagai juru kunci atau anak-anak warga sekitar yang dapat membantu memanggil bulus itu keluar. Kepada mereka dengan memberikan imbalan sesukanya, maka mereka akan menggunakan potongan ikan untuk dibawa terjun ke dalam goa dan memberi makan bagi bulus itu. Pengunjung dapat melihat keberadaan bulus itu yang bergerak-gerak di bawah air yang jernih itu.
Dalam perkembangannya, keberadaan bulus itu dihubungkan dengan kepercayaan untuk mendapatkan pesugihan dengan jalan yang tidak biasa. Saat ini dipercaya beberapa orang dapat mencari pesugihan ini dengan imbalan pada Kyai Poleng ini yang salah satu konsekuensinya adalah kulit wajah orang itu akan menjadi poleng atau belang seperti bulus yang terdapat di sendang itu. Untuk membuat nyaman suasana semedi dan mandi di sendang bagi penziarah itu kemudian ada orang yang membuat tempat peneduh dan komplek sendang diberi pagar seng. Ritual orang yang datang ini adalah bersemedi, mandi dan kemudian membuang pakaian yang dikenakannya saat itu.
Akibat dari aktivitas orang-orang tertentu ini tentu saja membuat resah warga sekitar yang umumnya justru berasal dari kaum yang beragamis. Terlebih tindakan mencari pesugihan ini cenderung musyrik maka hal ini jadi tidak membuat nyaman warga sekitar. Dengan beralihnya fungsi mata air ini menjadi tempat untuk pesugihan, maka aktivitas warga untuk memanfaatkan air yang berasal dari sumber air ini menjadi terganggu.
Keresahan ini kemudian diujudkan dalam bentuk inisiatif untuk membongkar tempat peneduh dan pagar di sendang. Warga juga melakukan kegiatan bersih-bersih mata air khususnya dari potongan kain-kain jarik dan celana yang banyak ditemukan di tepian kolam.
Meskipun aktivitas pencegahan warga bagi pengunjung untuk tidak melakukan ritual mencari pesugihan telah dilakukan, namun tetap saja tidak menghalangi orang datang. Hal ini karena memang sudah banyak orang percaya akan kemampuan mistik yang diperolehnya. Dari sini memang dapat menjadi dilema bagi warga sekitar. Namun untuk membongkar dan menutup sendang juga tidak memungkinkan karena itu adalah tempat umum dan terbuka. Jika sampai keberadaan sendang diurug dan pohon besar harus ditebang, maka justru warga sendirilah yang rugi karena akan mematikan sumber air alami yang bermanfaat.
Langkah yang paling mungkin adalah dengan selalu melakukan sosialisasi untuk mencegah praktek ritual mencari pesugihan ini. Sendang ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam misal dibangun suatu kolam renang yang representatif. Hal ini sangat mungkin karena lokasi Sendang Jimbung berada pada jalur transportasi menuju Rowo Jombor. Bahkan sangat mungkin jika lokasi ini juga diadakan tempat budidaya bulus, sehingga keberadaan bulus itu nantinya justru sebagai daya tarik wisata. Pola seperti ini mungkin bisa dilakukan dengan mengundang ahli biologi atau praktisi yang memiliki keahlian budidaya bulus atau kura-kura tawar. Langkah ini dapat mendukung program konservasi satwa, meskipun bulus belum dikategorikan satwa langka, namun upaya ini perlu juga dicoba.
Inisiatif pemerintah daerah Klaten perlu dilakukan untuk melakukan terobosan yang diusulkan di atas. Pada akhirnya warga sekitar akan tetap dapat menikmati berkah keberadaan Sendang Jimbung ini.