Konon jika kita sedang berada di kawasan Kahyangan Dlepih tidak di perbolehkan mengenakan pakaian warna hijau pupus dan kain bermotif parangklitik.
Bagi yang meyakini tahyul, apabila larangan (pamali) ini dilanggar maka yang bersangkutan bakal kalap (tewas). Begitu disakralkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana.
Kesakralan hutan Kahyangan Dlepih kian terasa manakala dijumpai beberapa petilasan serba batu. Salah satunya, petilasan Selo Gapit atau Penangkep berupa dua buah batu besar yang pada bagian atasnya saling bersentuhan mirip gapura.
Ada juga petilasan yang disebut Selo Payung karena bagian atasnya melebar menyerupai payung. Ketika didekati, tercium jelas aroma bakar dupa. Para pelaku ritual biasanya melakukan doa atau tapa di petilasan ini. Dipercaya, petilasan Selo Payung adalah tempat Raja pertama kesultanan Mataram, Raden Danang Sutawijaya atau bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa melakukan semedi.
“Nama Kahyangan ini sudah ada jauh sebelum Wangsa Sanjaya, sebelum ada Panembahan Senopati, Nyi Puju, Kyai Puju. Ketika itu masih zaman perwayangan atau kedewatan, dewa-dewi dipercaya bisa terlihat oleh manusia,” tutur ahli spiritual, Ki Among Sidik di Punden Kahyangan, Dusun Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Jauh sebelum Panembahan, Kahyangan sudah digunakan oleh para brahmana, begawan termasuk kalangan ksatria dari masa Majapahit untuk tempat bertapa. Ki Juru Martani juga pernah bertapa di Kahyangan sebelum mengabdi kepada keraton.
“Kebanyakan leluhur , terutama para brahmana dan golongan ksatria dari zaman Kadewatan, yang ingin mendekat pada para dewa akan melakukan ritual doa dan tapa disini .Tidak menutup kemungkinan zaman Mataram Kuno, Singosari Ken Arok, Majapahit Raden Wijaya juga Mataram Baru,” imbuh Ki Among Sidik.
Kemudian batu-batu akik yang dipercaya berasal dari tasbihnya Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga itu pun telah dipakai para brahmana dan begawan dalam tiap upacara keagamaan. Nah, sungai berbentuk kolam di kawasan tersebut atau dikenal Kedung Pesiraman, yang airnya bersumber dari sebuah tempuran air terjun, adalah pemandian para bidadari.
Lanjut Ki Among Sidik menuturkan, penguasa Pantai Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul sebetulnya tak lain dari Dewi Nawang Wulan, masih leluhur Panembahan Senopati. Hubungan Panembahan dan Kanjeng Ratu bukanlah pasangan suami istri seperti cerita yang beredar di masyarakat kebanyakan.
Ki Ageng Pemanahan, ayah Panembahan merupakan cucu Raden Depok atau Ki Ageng Getas Pandowo. Raden Depok sendiri anak buah perkawinan Raden Bondhan Kejawan dengan Dewi Nawang Sih, seorang putri dari Nawang Wulan dan Jaka Tarub.
Panembahan Senopati juga tidak mendapat wahyu keprabon atau keraton di Kahyangan, tapi dari bertapa di Kembang Lampir yang lokasinya di desa Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul Wonosari.
“Ada kisah, wahyu keprabon itu masuk ke buah kelapa,” tambahnya.
Matahari sudah terasa di ubun-ubun kepala saat menapaki jalan setapak menuju kembali ke Gapura Masuk Kahyangan dari Kedung Pesiraman. Bunyi gemericik air sungai mengalir dan kicauan burung ikut mengiringi langkah kaki. Sayangnya, keinginan mendekati Selo Gilang urung terlaksana karena derasnya arus sungai. Menurut Ki Among Sidik, ada baiknya jika ingin menghampiri Selo Gilang dilakukan saat musim kemarau. Agus Tw