Gunung Wukir Mahendra, Konon Pusat Spiritual di Tanah Jawa, Benarkah…?

 Gunung Wukir Mahendra, Konon Pusat Spiritual di Tanah Jawa, Benarkah…?

Gunung Wukir Mahendra atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Lawu dikenal banyak menyimpan aneka misteri, gunung yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa timur tersebut memiliki nama asli Wukir Mahendra dan mempunyai tiga puncak,  di setiap puncaknya menjadi lokasi  yang sakral di Tanah Jawa.

Ketiga puncak yang disakralkan tersebut antara lain adalah, Hargo Dalem yang dikenal sebagai tempat moksanya Prabu Brawijaya V, Hargo Dumuling yang menjadi puncak kedua sebagai tempat moksanya abdi kinasih Brawijaya V, yakni Ki Sabdopalon. Sementara puncak ke tiga adalah Hargo Dumilah yang merupakan tempat yang diyakini penuh dengan nuansa misteri dan dijadikan tempat sebagai ajang kemampuan oleh batin dan meditasi.

Dari informasi  berbagai sumber menyebutkan, bahwa bagi para pendaki atau pemburu wangsit yang ingin mekalukan perjalanan ke gunung Lawu diwajibkan untuk mematuhi  dan memahami berbagai larangan atau pantangan yang tidak tertulis, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Konon, apabila melanggar pantangan maka bisa bernasib naas. Benarkah?

Di Gunung Lawu atau Wukir Mahendra, sejak zaman Prabu Brawijaya V hingga Kesultanan Mataram banyak dilakukan berbagai macam jenis upacara spiritual, dengan adanya fenomena tersebut akhirnya Gunung Lawu dijadikan sebagai pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa.

Sementara di kaki gunung Lawu sebelah barat juga terdapat kompleks pemakaman kerabat trah Praja Mangkunegaran, yakni Astana Girilayu dan Astana Mangadeg.

Selain komplek pemakaman, di lereng gunung sakral tersebut juga terdapat tempat tempat tertentu yang oleh masyarakat dianggap memiliki nilai misteri, yakni air terjun grojokan sewu dan kretek pegad.

Menurut cerita seorang tokoh spiritual Karanganyar, mbah Modhot  air terjun grojogan sewu adalah tempat pertapanya Prabu Baladewa, tokoh pewangan. Di mana Prabu Baladewa dianjurkan oleh adiknya Sri Kresna untuk menjalankan oleh mesu budi dengan cara bertapa. Hal tersebut oleh Sri Kresna sebenarnya hanya sebagai alasan saja agar supaya Prabu Baladewa tidak ikut dan terlibat dalam peristiwa perang Bharatayudha, sebab kesaktian Prabu Baladewa hampir tidak ada musuh yang bisa menandinginya.

Selain grojokan sewu, ada pula air terjun Pringgondani, sesuai dengan namanya tempat tersebut konon merupakan tempat pertapaannya Prabu Anon Gatutkaca, putra sang Bima atau Werkudara. Untuk bisa menuju tempat tersebut pengunjung harus melewati jalan sempit dan terjal. Di lokasi ini pengunjung akan mendapati sebuah kuburan yang konon merupakan makam Raden Gatotkaca. Kuburan tersebut hingga kini masih dikeramatkan oleh masyarakat setempat dan pada hari hari tertentu banyak para penglap berkah yang mengunjunginya. Sementara diatasnya terdapat hutan yang disebut Pringgosepi

Di lereng Gunung Lalu bagian utara juga terdapat tempat yang dianggap keramat, yaitu Sendang Drajat, sebuah sumber mata air berupa sumur dengan diameter 2 meter. Sendang Drajat airnya tidak pernah kering atau habis kendati setiap hari diambil oleh pengunjungnya.

Disebelah sisi lain Gunung Lawu, juga terdapat tempat yang hingga kini sangat dikeramatkan, yakni Sumur Jalotundho. Sumur yang bentuknya menyerupai gua tersebut oleh masyarakat sering dipergunakan untuk menjalankan proses ritual tapa. Konon menurut cerita, dari lokasi sumur keramat Jolotundho pengunjung bisa mendengarkan suara deburan ombak laut pantai selatan yang jauhnya hampir mencapai ratusan kilometer.

Rupaya tidak hanya sekedar Gunung Lawu saja yang memiliki aroma mistis, tetapi beberapa bangunan yang berada di lereng lawu pun juga memiliki nilai  misteri  tertentu. Seperti keberadaan dua candi Cetho dan Sukuh. Dimana kedua candi tersebut masih menjadi rangkaian dari kesakralan Gunung Lawu atau Wukir Mahendra.

Menurut versi, kedua candi ini sudah ada jauh sebelum zaman Brawijaya V. Hal ini didasari oleh pahatan yang terdapat di relief candi Cetho dan Sukuh sangatlah sederhana. Berbeda dengan hasil pahatan zamana Majapahit yang lebih sempurna.

Bahkan bukti lainpun juga didapat, yakni usia candi Cetho lebih tua dibandingkan dengan candi candi lain yang ada  di dunia. Hal tersebut disampaikan saat ada utusan dan peneliti yang berasal dari Suku Maya (Amirika Latin) yang datang mengunjungi ke candi Sukuh tahun 1982.

Kala itu peneliti dari suku Maya mengunjungi candi Sukuh yang diantar oleh seorang pecinta alam asal Australia. Peneliti dn pecinta alam tersebut sangat tertarik dan ingin mempelajari lebih jauh tentang Candi yang ada di Indonesia yang konon candi Indonesia ada yang memiliki bentuk yang menyerupai candi di peradaban Inca.

Setelah melakukan perbagai macam penelitihan di candi Sukuh, hasilnya sangatlah mengagetkan. Peneliti suku Maya tersebut menyimpulkan bahwa ternyata Candi Sukubh usianya jauh lebih tua dibandingan dengan candi yang di miliki oleh Suku Maya.

Keberadaan candi Sukuh di lereng Gunung lalu tersebut posisi bangunannya menghadap ke arah barat atau kiblat, berbeda dengan kebanyakan candi lain di Indonesia yang struktur bangunannya selalu menghadap ke timur.

Lokasi di mana candi Sukuh berada terletak di di ketinggian kaki gunung Lawu yang juga diselimuti oleh kabut tebal yang turn dengan tiba tiba, sehingga hal tersebut memiliki kesan mistis tersendiri bagi siapa yang menyaksikannya

Selain fenomena tersebut, masyarakat sekitar Gunung Lawu sebenarnya juga sering menyaksikan  sekelebatan sinar yang membentuk portal (gerbang) yang berasal dari tiap sudut candi  yang  berbentuk  segi delapan menyerupai gerbang atau portal ke atas.

Konon, ada anggapan bahwa fenomena tersebut merupakan pintu masuk menuju dimensi lain. Hingga kini tidak ada seorangpun dari masyarakat yang berani mendekati. Agus TW