Sungai Bengawan Solo memiliki ritus yang membuat repot, yakni meluap hingga menggenangi hunian sepanjang alirannya. Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru, sudah ratusan tahun silam ritus meluapnya Bengawan Solo ini selalu terjadi.
Di masa lalu ritus meluapnya Bengawan Solo tak bisa dilepaskan dari sebuah perahu yang diberi nama Kyai Rajamala. Perahu ini selalu digunakan Paku Buwono X untuk memeriksa banjir diberbagai daerah. Tak hanya sebagai kendaraan diatas begawan, perahu yang memiliki hiasan berupa kepala Rajamala di bagian ujungnya itu juga dipercaya sebagai penolak bala sekaligus pengusir penyakit.
Kabarnya, setiap daerah yang dilalui perahu Kyai Rajamala, tak pernah terjangkiti penyakit yang biasanya muncul di daerah-daerah banjir – seperti penyakit kulit dan muntaber. Keangkeran atau lebih tepatnya kekeramatan Kyai Rajamala ini ternyata masih terpelihara hingga kini, setiap tahunnya, pada bulan Suro – Kyai Rajamala pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bau anyir darah, dan akan hilang setelah dilakukan jamasan terhadapnya.
Kyai Rajamala ini termasuk salah satu pusaka utama Kasunanan Surakarta dan masih bisa kita saksikan hingga kini, tepatnya di Museum Radya Pustaka. Pusaka yang berbentuk patung kepala raksasa yang dulunya sebagai hiasan perahu pada jaman Paku Buwono IV di semayamkan. Saking keramatnya, bahkan ada larangan untuk pengunjung untuk sekedar menyentuhnya.
Riwayat keberadaan Kyai Rajamala ini cukup menarik, tak hanya berurusan dengan Bengawan Solo, cerita tentang keberadaannya juga sarat dengan cerita kekisruhan yang melingkupi Kasunanan Surakarta di masa lalu.
Keberadaan pusaka Kyai Rajamala tak lepas dari kisah soal rasa hormat Sunan Pakubuwono V kepada ibu tirinya, GKR Kenconowungu. Juga diceritakan bagaimana piawainya sang raja saat masih menjadi putra mahkota yang harus mengurai keruwetan rumah tangga sang ayah, Sunan Pakubuwono IV.
Kisah ini kami sarikan bebas dan selektif dari buku ‘Pakubuwono V’ karangan Soemosapoetro yang terbit pada tahun 1956 silam. Sebenarnya, buku ini aslinya berbahasa Jawa krama inggil, salah satu tingkatan tertinggi penggunaan Bahasa Jawa yang lazim dijumpai dalam uraian karya sastra Jawa, terutama yang ditulis oleh pujangga keraton.
Diceritakan, Pangeran Adipati Anom begitu berduka. Putra mahkota Sunan Pakubuwono III itu seakan tak kuat menanggung nestapa karena isterinya yang tercinta, Bandoro Raden Ayu (BR.Ay.) Adipati Anom (yang saat muda bernama Raden Ajeng Handoyo), putri pertama dari Adipati Cakraningrat di Madura, meninggal dunia. Bukan karena ditinggal tambatan hati, namun juga sang pangeran amat sedih mengingat mereka sebenarnya sedang menempuh kebahagiaan karena sudah dikarunia seorang putra laki-laki yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sugandi dan sudah berusia 1,5 tahun.
Seakan tidak ingin berpisah terlalu jauh dengan almarhumah isteri yang dicintainya, ia meminta supaya jenazah isterinya dikebumikan di Laweyan, di serambi masjid milik Kasunanan Surakarta. Permintaan itu jelas menetang tradisi, mengingat sebagai keluarga inti keturunan raja-raja Mataram mestinya dimakamkan di pemakaman Pajimatan di Imogiri yang dulu sengaja dibuat oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram yang terkenal heroik karena pernah memerintahkan penyerangan ke Batavia tahun 1626 dan 1628 tersebut. Dengan dimakamkan di Laweyan, sang putra mahkota berharap akan dapat sewaktu-waktu berziarah kepada isterinya tersebut.
Di tengah kedukaan tersebut, pada tanggal 26 September 1788 ayahnya, Sunan Pakubuwono III meninggal dunia. Pangeran Adipati Anom tak dapat mengelak dari kewajiban. Mengingat kedudukannya sebagai putra mahkota yang harus segera memikul tanggung jawab besar karena harus menggantikan kedudukan ayahnya. Maka dipupuslah segala kedukaan karena meninggalnya sang isteri dan 3 hari sesudah wafatnya sang ayah, ia diwisuda menjadi Sunan Pakubowono IV, tepatnya pada tanggal 29 September 1788.
Suatu beban yang luar biasa, mengingat saat itu usianya masih sangat muda, sekitar 20 tahun lebih 7 bulan. Kelak Sunan Pakubuwono IV ini termasuk salah satu raja yang mumpuni dan melahirkan banyak tulisan sastra (serat), dan satu diantaranya yang terkenal adalah Serat Wulangreh.
Hampir 3 tahun setelah menjadi raja, demi menjaga wibawa dan kedudukannya, Sunan Pakubuwono IV memutuskan untuk menikah kembali. Uniknya, perempuan yang dipilih adalah Raden Ajeng Sakaptinah, yang juga putri Adipati Cakraningrat di Sumenep, Madura. Dalam istilah Jawa, perkawinan di mana laki-laki menikahi saudara isterinya yang sudah meninggal dunia, dikenal dengan perkawinan “ngrangulu.” Pernikahan itu diresmikan pada 17 Agustus 1791. Isteri barunya itu diberi kedudukan sebagai permaisuri dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kenconowungu.
Putra Sunan Pakubuwono IV, GRM Sugandi yang sejak kecil tak pernah merasakan belaian kasih sayang ibu, menyambut baik pernikahan ayahnya itu, dan bahkan menghormati permaisuri yang sekaligus bibinya itu tak kurang laksana kepada ibunya sendiri. Dari pernikahan itu, Sunan Pakubuwono IV memperoleh 2 anak, yaitu Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun. Sepuluh tahun kemudian, pada 13 Agustus 1792 GRM Sugandi diangkat ayahnya menjadi putra mahkota dan kemudian bergelar Pangeran Adipati Anom. Saat itu usia GRM Sugandi sudah menginjak 7 tahun 8 bulan.
Kedudukan itu dikukuhkan lagi pada 11 Juli 1796, Sesudah memperoleh kedudukan sebagai calon raja itulah, Pangeran Adipati Anom kemudian belajar banyak hal mengenai ilmu keprajuritan, tata pemerintahan, dan tak ketinggalan bahasa dan sastra Jawa. Untuk yang terakhir ini, sang pangeran tiada memperoleh kesulitan mengingat sang ayah adalah raja tetapi berjiwa pujangga dengan banyak menyajikan karya sastra yang tinggi pengaruhnya terhadap peradaban kerajaan.
Kelak sang pangeran ini akan mampu melahirkan karya sastra yang dewasa ini termasyur sebagi ensiklopedia ilmu pengetahuan dan diberi nama “Serat Centhini.” Bahkan tidak segan-segan sang ayah sendiri yang memberikan pengajaran soal keutamaan dan keluhuran peran sebagai seorang raja. Sang ayah juga yang kemudian mencarikan isteri bagi putera mahkota tersebut yaitu seorang putri dari Raden Mas Haryo Joyodiningrat, kerabat Kasunanan Surakarta.
Akibat semangat dalam menerima ajaran-ajaran keluruhan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan itu, Pangeran Adipati Anom kemudian tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan kaya inisiatif. Bahkan, dalam suatu kesempatan tersendiri, sang pangeran secara terampil mampu membuat sebuah keris. Dan keris itu sedemikian indahnya dan terbuat dari serpihan logam meriam Kyai Guntur Geni, pusaka di masa Sunan Pakubuwana II saat masih bertahta di Keraton Kartosura.
Konon meriam itu memiliki kesaktian yang luar biasa dan saat pemberontakan Raden Mas Garendi (kelak bergelar Sunan Kuning), pusaka itu dijadikan senjata andalan, tetapi rusak. Ketika Sunan Pakubuwono IV tahu hasil keterampilan putranya tersebut, ia meminta keris itu dijadikan pusaka kerajaan dan diberi nama Kanjeng Kyai Kaget. Nama ini berasal dari suara hati sang raja yang kagum dengan keterampilan sang putra mahkota dalam menghasilkan pusaka dengan keindahan yang luar biasa.
Namun, sang pangeran tahu, apresiasi ayahnya itu tidak lantas membuatnya bahagia. Bagaimanapun ia tahu, sang ayah sedang tidak bertegur sapa dengan ibu tirinya, permaisuri raja, GKR Kenconowungu. Pangeran Adipati Anom sama sekali tidak tahu apa musabnya dan secara tata karma tentu tidak berani untuk bertanya kepada ayahnya. Bahkan, lama-lama ia mendengar sang ayah akan menceraikan permaisurinya itu dan akan dipulangkan ke Madura.
Walaupun ibu tiri, tetapi sang pangeran tidak kurang cintanya kepada GKR Kenconowungu mengingat sejak usia 1,5 tahun dia tidak lagi memperoleh curahan kasih sayang dari ibunya. Dia bertekad andaikata benar Sunan Pakubuwono akan menceraikan GKR Kenconowungu, maka ia sendiri akan mengantar sang ibu ke Madura. Dia sendiri bertekad tidak akan pernah kembali ke Kasunanan Surakarta dan memilih hidup bersama sang kakek, Adipati Cakraningrat di Madura.
Dia juga memerintahkan para abdi dalem Kadipaten (kediaman resmi putra mahkota) untuk selalu siaga dan berpakaian seragam prajurit. Ia juga membuat sendiri sebuah perahu besar yang kelak akan digunakannya menyusuri sungai Bengawan Sala menuju Madura andai perceraian raja dan permaisuri terjadi. Perahu itu besar, indah, dan berwibawa, dan bahkan di ujungnya ada hiasan berupa kepala raksasa (Gupala). Perahu itu diberi nama Kyai Rajamala dan sampai sekarang masih tersimpan di Museum Radya Pustaka, Surakarta.
Sunan Pakubuwono kemudian memanggil sang putra mahkota. Pangeran Adipati Anom tak kuasa lagi menahan perasaannya. Dengan takzim ia mengatakan bahwa jika sampai ayahnya menceraikan permaisuri dia akan mengantar ibunya ke Madura dan tidak akan bersedia kembali lagi ke kerajaan.
Alangkah terkejutnya sang raja mendengar curahan hati Pangeran Adipati Anom. Lebih terkejut lagi saat ia dengan mata kepala sendiri sebuah perahu besar dan sekian banyak prajurit yang akan mengantar putranya ke Madura. Suatu masalah besar jika niat itu terlaksana. Ia tidak akan mempunyai putra mahkota yang sudah sekian lama ia cita-citakan menjadi penguasa Surakarta.
Seketika terharulah hati sang raja dan segeralah ia merangkul dengan perasaan sayang kepada Pangeran Adipati Anom. Dia juga berjanji bahwa dia tidak akan pernah menceraikan GKR Kenconowungu, apalagi mengembalikan isterinya itu Madura. Legalah Pangeran Adipati Anom mendengar janji ayahnya itu. Dan ia pun bersedia memangku jabatan putera mahkota dan akan selalu mendampingi ayahnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan selanjutnya, sang raja dan permaisuri berkenan untuk menggunakan perahu Kyai Rajamala itu untuk bersukaria dan menghibur diri bersama-sama dengan para kerabat keraton mengarungi sungai Bengawan Solo.
Untuk mengenang dan mengabadikan rasa cinta kepada GKR Kenconowungu, Pangeran Adipati Anom menggubah Gending Ludira Madu untuk mengiringi tari Serimpi. Tarian ini adalah tarian untuk hiburan raja yang dilakukan oleh 4 orang perempuan. Iringan gending diberi nama Ludira Madu, artinya darah Madura, suatu persembahan untuk ibunya, GKR Kenconowungu.
Di samping itu, ia juga menggubah Gending Loro-Loro, untuk mengiringi tari Penthul, sosok yang digambarkan sebagai abdi kerajaan dengan menggunakan topeng yang lucu. Diberi nama Loro-Loro, artinya dua-dua, karena menurut sang pangeran hidup di dunia selalu 2 dimensi, senang dan sedih; benar dan salah; dan seterusnya.
Pada tanggal 2 Oktober 1820, hampir 33 tahun setelah menjadi raja, Sunan Pakubuwono IV meninggal dunia dalam usia 53 tahun. Kemudia 8 hari sesudah itu, tepatnya pada 10 Oktober 1820, Pangeran Adipati Anom dinobatkan atau jumeneng menjadi raja Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwono V, sedangkan isterinya kemudian diangkat menjadi permaisuri bergelar GKR Mas Ageng.
Saat itu usianya 36 tahun. Untuk menghormati ibu kandunganya yang dimakamkan di Laweyan dan sudah meninggal saat ia berusia 1,5 tahun, raja baru itu juga mengganti nama ibunya dan menjadi bergelar GKR Pakubuwono. Tak lama kemudian pada tanggal 21 Januari 1821, GKR Kencowonowungu meninggal dunia. Dan malang bagi sang raja baru itu, 3 bulan setelah kematian ibunya, permaisurinya GKR Mas Ageng meninggal dunia pula.
Jasad sang isteri dimakamkan berdampingan dengan ibunya GKR Kenconowungu di Imogiri, Yogyakarta. Tak terkirakan kesedihan Sunan Pakubuwono V. Dalam jangka waktu hampir berturut-turut sudah ditinggal oleh ayah, ibu, dan isterinya sendiri. Akibatnya, ia tidak berkonsentrasi penuh dalam memikirkan roda pemerintahan kerajaan. Namun tak lama kemudian Sunan Pakubuwono V menikah kembali dengan putri Tumenggung Kusumodiningrat dan diangkat sebagai permaisuri dengan gelar GKR Kencono.
Sesudah 100 hari pasca kematian ibunya GKR Kencowonowungu, Sunan Pakubuwono yang telah kembali menjalankan roda pemerintahan, menyempatkan diri untuk memperhitungkan harta warisan ibunya tersebut. Bagaimanapun, perkawinan mendiang dengan ayahnya menghasilkan 2 putera sebagai adik tirinya yaitu Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun. Dia berniat untuk menyerahkan sepenuhnya harta peninggalan ibunya kepada kedua saudara tirinya tersebut.
Namun, atas saran Pangeran Angabei, saudara laki-laki tiri lain ibu (hasil pernikahan Sunan Pakubuwono IV dengan selir Mas Ayu Rantansari), dimohonkan agar niat itu dipertimbangkan kembali. Bagaimanapun, ibu raja, GKR Pakubuwono masih saudara dengan GKR Kenconowungu, ibu tirinya. Dengan posisi itu, maka Sunan Pakubuwono V merupakan salah satu ahli waris juga. Dengan demikian, harta peninggalan GKR Kenconowungu tidak dapat segera dibagi.
Pembagiannya, atas kehendak Sunan Pakubuwono V, harus berdasarkan seluruh putra putri Sunan Pakubuwono IV dan semua persetujuan mengenai hal itu harus dituangkan dalam sebuah surat pernyataan tertulis. Meskipun demikian, persetujuan itu segera tercapai, termasuk Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun yang menyerahkan sepenuhnya pembagian harta peninggalan ibu mereka kepada Sunan Pakubuwono V.
Tibalah hari dan saat Sunan Pakubuwono V mengambil keputusan. Dalam suatu persidangan kerajaan 1 Mei 1821, Sunan Pakubuwono V menjelaskan aspek-aspek persoalan yang terkait dengan pembagian harta peninggalan mendiang GKR Kenconowungu. Sunan berketetapan untuk melaksanakan pembagian harta peninggalan itu menurut ketentuan hukum Islam. Semua yang hadir menanti dengan penuh kecemasan dan perasaan tak menentu mengingat semenjak awal mereka semua tahu bahwa sebagai raja, Sunan telah berkehendak untuk mengambilalih semua persoalan waris itu.
Keputusan Sunan Pakubuwono V sungguh di luar dugaan dan mengejutkan semua yang hadir, termasuk Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun. Sunan Pakubuwono V berketetapan bahwa semua harta peninggalan GKR Kenconowungu yang bersifat sebagai barang “kaputren” diserahkan sepenuhnya kepada GKR Pembayun, termasuk gaji sebagai permaisuri. Sementara untuk Pangeran Purboyo adalah semua harta peninggalan yang bersifat aksesoris untuk pria, termasuk hasil bumi tanah kedudukan. Sementara itu peninggalan yang berupa perhiasan dan kitab-kitab dibagi secara adil untuk mereka berdua.
Sementara itu, Sunan Pakubuwono V bersedia untuk mengambil alih semua beban keuangan GKR Kenconowungu semasa hidupnya. Raja juga bertitah agar siapapun kerabat yang merasa mempunyai hutang atau berurusan dengan almarhumah ibu tirinya itu, untuk segera mengatakan kepadanya dan sang raja sendiri yang akan melunasi. Keputusan Sunan Pakubuwono V itu mengakhiri semua spekulasi yang berkembang saat itu, terutama keinginan Sunan untuk menjadi pihak ahli waris.
Tak urung keputusan yang demikian sekalipun mengejutkan, tetapi akhirnya menenteramkan semua pihak, termasuk kedua saudara tiri Sunan Pakubuwono V. Demikian murah hati kepribadian Sunan, sehingga yang bersangkutan akhirnya memperoleh julukan “Sunan Sugih”, raja yang kaya raya. Keputusan itu juga menunjukkan kearifan dan kesabaran Sunan Pakubuwono V sekaligus berbakti kepada GKR Kenconowungu, sekalipun semua pihak tahu, bahwa mendiang adalah ibu tiri dari sang raja tersebut. Agus TW