Dalam sejarah kerajaan di Jawa, tercatat ada dua nama kerajaan Mataram. Tetapi kedua nama kerajaan tersebut memiliki masa yang berbeda. Bahkan, keduanya memiliki rentan jarak yang jauh, hampir seribu tahun.
Tentu yang pertama adalah kerajaan Mataram Hindu-Budha yang keberadaannya diperkirakan pada abad VII Masehi. Sedangkan Mataram yang kedua seperti yang kita tahu adalah Mataram Islam yang berdiri pada abad XVI Masehi. Kemudian, untuk menelisik kerajaan Mataram kuno maka kita harus membincang berdirinya kerajaan Medang. Seperti yang tertulis dalam sejarah, kerajaan Medang inilah kerajaan pertama di Jawa yang meninggalkan bukti keberadaannya.
Mataram, adalah satu wilayah yang ada di Jawa Tengah tempat di mana awal kerajaan Medang berdiri pada abad VIII dan sekaligus menjadikan tempat tersebut pusat pemerintahannya. Selanjutnya, pusat pemerintahanya berpindah ke kota Jombang, Jawa Timur pada abad X. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke XI.
Secara umum dalam literatur sejarah, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke XVI, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang.
Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana. Seperti yang sudah saya narasikan di atas, sejatinya pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain ;
- Medang I Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) berpusat di Yogya dan sekitarnya.
- Medang II Mamrati (zaman Rakai Pikatan) berpusat di Magelang, Jawa Tengah.
- Medang III Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) berpusat di Magelang dan sekitarnya.
- Medang IV Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) berpusat di Yogya.
- Medang V Tamwlang (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
- Medang VI Watugaluh (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
- Medang VII Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) berpusat di Madiun, Jawa Timur.
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu sekarang. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang.
Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit akhir abad ke XIII) yang mengaku sebagai penerus tahta Kertanagara raja Singhasari, namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke XVI (masa Mataram Islam). Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
Sanna juga dikenal dengan nama Sena atau Bratasenawa, merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 – 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yang merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan dan Resi Guru Demunawan putera bungsu Sempakwaja (adik ipar Sanjaya). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Syailendra berkuasa diseluruh Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya penguasa seluruh Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Syailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati (Magelang).
Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya. Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Syailendra” (Syailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Syailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik tahta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Syailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isyana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok. Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007 atau 1016.
Candi Mendut, Peninggalan Mataram Kuno
Asal-Usul Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isyana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.
Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isyana. Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan melahirkan Airlangga.
Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsawardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan. Selain prasasti Pucangan dan prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.
Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.
Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Cina. Utusan Cho-po juga tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik tahta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh.
Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
Dengan demikian, dari berita Cina tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991. Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, namun pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.
Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”. Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang Aji Wurawari dari Lwaram dengan bantuan askar-askar Sriwijaya.
Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus tahta mertuanya.
Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.
Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas.
Sewlokan Peninggalan Mataram Kuno
Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.
Airlangga (Bali, 990 – Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia
Runtuhnya Kerajaan Medang
Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri).
Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala di India tahun 1023.
Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana. Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa.
Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik tahta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun tahta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Dengan berdirinya Kerajaan Jenggala maka berakhirlah sejarah kerajaan Medang / Mataram Hindu Budha. Bambang Wisanggeni