Rombongan itu berjalan beriringan dengan tertib. Raja Mataram Susuhunan Paku Buwana II (1729-1749) mengendarai kuda kesayangannya memimpin perjalanan bersejarah; perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta. Dua ratus prajurit berkuda dan prajurit lima batalyon berjalan gagah di belakang raja.
Hari itu, Rabu Pahing 17 Muharam 1670 (1745 M), Keraton Kartasura resmi berpindah ke Keraton Surakarta, sekitar 10 kilo meter arah timur dari keraton lama. Seluruh harta dan pusaka kerajaan diboyong; sepasang pohon beringin yang masih muda, mahligai, bangsal pengrawit, gajah dan burung kesayangan sri baginda, harimau berikut kandangnya, arca-arca emas untuk upacara, pusaka Kyai Pangarab-arab dan pusaka Kyai Butamancak, kitab-kitab pusaka, seerta pusaka Nyai Setomi.
Tak hanya keluarga raja, petinggi dan para abdi yang pindah, tetapi bahkan juga para tukang emas, tukang besi, penjahit, tukang kayu, tukang batu, abdi dalam keraton, peniup terompet, abdi dalem dapur dengan segala perkakasnya, penangkap-penangkap ikan dengan kail dan perahunya.
“Konon, inilah jalan yang mereka lalui dua ratus lima puluh tahun yang lalu”, kata juru kunci situs Keraton Kartasura, Kertihastomodipuro (68) alias Haris, sambil menunjuk jalan kelas beraspal selebar enam meter.
Jalan itu berada di sebelah utara situs Keraton Kartasura, membentang dari arah barat ke timur sepanjang sekitar 17 kilometer. Jika ditarik lurus ke timur akan sampai di Keraton Surakarta. Jalan kuna yang kini telah beraspal itu berada di sisi selatan Jalan Raya Solo-Semarang –dibangun Deandels setelah Keraton Kartasura ditinggalkan.
“Rombongan besar itu membutuhkan waktu sekitar empat jam berjalan kaki dari Kartasura ke Surakarta,” tambah dia.
Sejak kepindahan itu, lanjut Haris, otomatis seluruh barang-barang berharga yang tersisa milik Keraton Kartasura berada di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga sekarang. Sebagian berada di museum keraton, sebagian yang lain disimpan di Museum Radyapustaka di Solo.
Enam puluh enam tahun sebelum bedhol negari itu, Keraton Kartasura pertama kali didiami oleh Sunan Amangkurat II (1677-1702). Raja Mataram yang semula bernama Pangeran Adipati Anom itu adalah raja pertama Mataram yang menempati Kartasura setelah kepindahannya dari Keraton Plered di Yogyakarta.
Keraton Kartasura (1680-1742) dibangun selama tujuh bulan. Bentengnya luas dan tebal mengelilingi keraton, berupa susunan batu bata rangkap dua dengan disangga papan di bagian luar dan dalam.
Dulu, parit besar berair mengelilingi seluruh keratin, seperti halnya keraton lama, Plered. Di sisi selatan tembok benteng baluwarti terdapat alun-alun. Sementara Loji Kumpeni terletak agak jauh di bagian utara dari alun- alun utara.
Kini, lebih dari 250 tahun kemudian, bekas Keraton Kartasura sungguh menyedihkan. Tembok dalam keraton atau Sri Manganti telah hancur rata dengan tanah, menyisakan sedikit bagiannya di beberapa tempat.
Benteng ini sebelumnya mengelilingi lahan seluas 2 hektar. Sedangkan benteng luar, Baluwarti, diperkirakan mengelilingi lahan seluas 16 hektar. Saat ini, benteng Baluwarti hanya tersisa 100 meter.
Benteng Sri Manganti kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat.
Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi pemukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah hanyalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Namun, situs itu pun kini telah dipenuhi makam.
Tak ada kolam penuh air di Balekambang keraton, yang letaknya di tenggara keraton. Sebagai gantinya adalah pemukiman dan lapangan sepakbola. Sisa lainnya adalah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter yang disebut penduduk Gunung Kunci.
Di puncak “gunung” itu terdapat makam keramat. Tempat ini bekas segoroyoso, tempat rekreasi keluarga keraton, dibangun pada masa Paku Buwana I (1704-1709). Bangunan macam itu mengikuti pola keraton Plered. Tak ada lagi bangunan keraton yang utuh.
Lahan di sekitar benteng Baluwarti tak jauh berbeda. Kondisi tembok batu bata setinggi 3 meter dengan tebal setengah meter itu pun sangat memprihatinkan. Tanaman merambat dan lumut merayapi badannya.
Beberapa bagian dinding bahkan ambrol termakan usia dan diterjang akar liar. Benteng Baluwarti dan Sri Manganti sudah hancur. Benteng Baluwarti hanya menyisakan sekitar 100 meter yang masih berdiri. Sementara tembok sisi barat bagian dalam atau Sri Manganti, terdapat lubang besar yang konon bekas dijebol saat geger pecinan.
Di dalam benteng Sri Manganti ini dulunya terdapat bangunan utama keraton, masjid agung, bangsal, gedong obat (tempat menyimpan mesiu) serta sejumlah bangunan pendukung lain. Di sisi utara benteng terdapat alun-alun dan taman kerajaan yang kini dikenal dengan nama Gunung Kunci.
Dibandingkan tembok Baluwarti, tembok bagian dalam Sri Manganti yang mengelilingi keraton atau cepuri, masih kelihatan wujud keseluruhannya. Namun di dalam tembok hampir tidak ada bangunan apa pun dari keraton yang tersisa, karena sudah dipenuhi dengan makam dan beberapa rumah penduduk. Tempat ini hanya menyisakan petilasan Raja Kartasura,Amangkurat II, Amangkurat III, Pakubuwono I, Amangkurat IV dan Paku Buwono II yang terletak di bawah pohon beringin besar.
“Mulanya petilasan ini hanya berupa gunudukan tanah. Namun karena sering longsor, pihak Keraton Kasunanan kemudian membuat bangunan permanen dengan menggunakan batu alam. Dua buah batu besar diletakkan di atas petilasan, untuk penanda,” ujar Haris yang sudah 40 tahun lebih menjadi juru kuci.
Dia menambahkan selain para kerabat keraton,banyak juga penduduk setempat yang dimakamkan di tempat ini. Biasanya mereka adalah para abdi dalem. Beberapa di antara mereka pernah ditugaskan oleh Keraton Surakarta untuk merawat Keraton Kartasura yang telah ditinggalkan.
Sebab, menurut kepercayaan Jawa, bila keraton pusat kejayaan dan kebesaran sebuah kerajaan telah dirusak, maka tempat itu sudah tidak boleh didirikan pusat pemerintahan lagi dan harus dijadikan tempat pemakaman.
“Ini makam Kanjeng Bendoro Raden Ayu (BRA) Adipati Sedah Mirah, pujangga ayu sekaligus selir pertama Paku Buwana IX. Beliau yang menulis kitab Ponconiti”, kata Daryono menunjukkan satu-satunya makam yang diberi cungkup dari 27 makam dalam kompleks berpagar tembok.
Selain makam Sedah Mirah, beberapa makam yang juga dikeramatkan masyarakat, antara lain makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam KPH Adinegoro, dan Makam Ki Nyoto Carito (dalang terkenal) semasa Paku Buwono II.
Masih menurut Haris beberapa tahun lalu makam-makam keramat itu tak pernah sepi dari peziarah. Mereka berziarah sekaligus ngalap berkah agar keinginannya terkabul, seperti panjang umur, murah rezeki, dapat jodoh, atau pun sekadar untuk mendapatkan ketenangan batin.
Kini Keraton Kartasura tinggal puing. Namun bangunan sisa bekas keraton itu menjadi bukti bahwa di Kartasura, ratusan tahun lalu pernah ada sebuah kerajaan besar bernama Mataram. Solo.com“Namun sejak tahun 2005 Keraton Kasunanan melarang peziarahan karena makam disalahgunakan untuk musrik,” ujar Haris.