Manungso – Manunggaling Roso. Manunggaling berarti bersatunya atau jadi satu. Roso disini bukanlah rasa atau perasaan. Roso merupakan perwakilan dari bagian-bagian diri manusia yang dimanifestasikan dalam simbol-simbol perasaan itu sendiri. Ada Roso saat kecewa, sedih, bahagia, senang, menghadapi satu masalah atau kejadian. Pendek kata, Roso adalah ego manusia.
Penyebutan ‘manungso’ oleh orang Jawa dahulu menandakan bahwa mereka sudah memahami kalau manungso adalah tempat berkumpulnya ego jadi satu. Mereka telah memahami bahwa ego dalam diri manungso itu banyak. Untuk itulah lahir konsep ‘sedulur papat limo pancer’ dimana para leluhur Jawa ingin memberikan metafora tentang kecenderungan nafsu manusia.
Lebih dalam lagi, Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan lebih detail untuk memisahkan ‘sang diri’ dengan ego-ego yang ada. Dalam metode Kramadangsa yang diuraikannya, setiap tindakan dimungkinkan untuk mengambil jarak antara pelaku dan yang dilakukan.
Kini, karena ketidak sadaran manusia itu sendiri, banyak yang terlelap sehingga terjebak dalam kemelekatan bahwa aku adalah apa yang aku lakukan. Aku adalah apa yang orang lain persepsikan tentangku. Aku adalah apa yang aku rasakan tentang hal-hal yang menyangkut diriku.
Bila kata ‘manungso’ ini kita sadari, maka akan menjadikan paradigma kita kaya tentang sebuah makna. Manungso sebagai berkumpulnya ‘roso’, maka kita sadar bahwa ada kesadaran yang memperhatikan, mengatur, dan mengarahkan para ‘roso’ itu sendiri. Dan itu bukan Tuhan. Kesadaran itu merupakan diri sejati yang masih terdapat didalam diri. Kesadaran itu yang dapat berkomunikasi dengan para ‘roso’ dan mengijinkan mana ‘roso’ yang boleh dominan pada satu masa kejadian.
Bayangkan apabila seseorang tidak menyadari bahwa respon dia atas suatu peristiwa akan menghasilkan ‘roso’ tersendiri, maka ‘roso’ tersebut akan menguasai dan akan muncul saat ada peristiwa yang sama. Dan bayangkan apabila ‘roso’ yang ada merupakan trauma, kekecewaan ataupun kemarahan? Apa yang terjadi? Maka manusia akan dijerat oleh kemelekatan bahwa yang dia alami adalah respon dari ‘roso’ itu sendiri.
Manusia sebagai Manungso adalah manusia yang menyadari bahwa dirinya bukanlah kumpulan roso tersebut. Dirinya dapat mengatur dan mengendalikan roso-roso yang ada. Dan bahkan dirinya yang mengijinkan mana roso yang boleh dominan pada satu peristiwa dan mana yang tidak.