Berdasarkan keterangan dari berbagai masyarakat, raja pertama yang memimpin kerajaan Pasir adalah seorang wanita yang bernama putri Petung, yang memerintah dari Sadurangas, wilayah hulu sungai kandilo.
Sementara, dari para raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Pasir, yang pertama menganut agama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Alamsyah (Aji Geger) yang memerintah pada tahun 1703 – 1726.
Pada masa zaman kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Alamsyah, terjadi peristiwa penyerangan yang dilancarkan oleh suku Dusun. Dengan adanya peristiwa tersebut akhirnya pusat pemerintahan terpaksa harus dipindahkan ke Pasir Benua, yang berdekatan dengan
Pasir Balengkong. Hingga sejak itu kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan Pasir.
Kala itu ada seorang yang bernama La Maddukelleng, yang merupakan bangsawan Wajo yang sedang menjalankan misi perantauannya ke Kalimantan setelah ia membunuh seorang bangsawan Bone. Dalam perantauannya tersebut ia menikahi salah seorang putri Sultan Aji Muhammad Alamsyah yang bernama Andeng Ajang.
Sepeninggal ayahandanya (Sultan Aji Muhammad Alamsyah) putri Andeng Ajang rencana akan di calonkan untuk menduduki tahta kerajaan Pasir untuk menggantikan ayahandanya. Akan tetapi kala itu banyak dari berbagai kalangan yang menolak putri Andeng Ajang untuk menjadi Sultan Pasir. Akibat penolakan tersebut membuat suami putri Andeng Ajang, La Maddukeleng marah besar dan akhirnya menyerang serta menduduki Pasir. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1726, dan pada tahun 1735, La Maddukelleng di panggil supaya pulang oleh Wajo. Akibat pemanggilan tersebut La Maddukelleng akhirnya langsung meninggalkan Pasir.
Kapal Belanda pertama kali datang ke Pasir pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Khan, tahun 1838 – 1843. Kedatangan kapal Belanda tersebut banyak membawa komoditas berupa gula-gula, kain, roti, cermin, manik-manik, piring, guci dan lain sebagainya. Perniagaan dilangsungkan melalui sistem barter dengan hasil kekayaan alam yang ada di kerajaan Pasir.
Dengan mengandalkan tipu muslihatnya, Pangeran Mangku Jaya Kusuma merebut kekuasaan dari tangan Sultan Pangeran Ratu Raja Besar pada tahun 1898 – 1900. Awalnya Sultan selalu mempercayakan segala urusannya kepada mentrinya itu, yakni, Pangeran Mangku jaya Kusuma.
Kala itu nampaknya Pangeran Mangku Jaya Kusuma tanpa sungkan menyampaikan keinginannya untuk menjadi seorang Sultan di Pasir kepada residen Belanda. Mendengar keinginan Pangeran Jaya Kusuma tersebut, nampaknya residen Belanda justru senang dan ikut mendukung niatan Pangeran Mangku Jaya Kusuma. Nah…saat itu juga mereka merancang siasat licik yang semuanya bertujuan untuk mengalihkan kekuasaan Sultan yang syah ke tangan tidak syah.
Singkat cerita, Residen Banjaramasin membujuk Sultan yang syah untuk membuat surat kuasa, yang berisi tentang pelimpahan wewenang kepada Pangeran Mangku Jaya Kusuma untuk mengurusi segala yang berhubungan dengan pemerintahan kolonial Belanda. Sementara dalam pemikiran Sultan yang syah, ini sangat menguntungkan serta meringankan beban pekerjaannya, sehingga Sultan syah langsung mengiyakan dan setuju usulan tersebut.
Kemudian tak lama, konsep surat kuasa telah dibuat dan semua isi surat telah disetujui oleh Sultan yang syah. Keesokan harinya baru dilangsungkan acara penaandatanganan. Sultan yang syah langsung menandatangani surat perjanjian tersebut, tanpa memeriksa dan membaca kembali isinya.
Nampaknya isi surat perjanjian tersebut telah diubah dan isi surat itu menyatakan bahwa Sultan yang syah telah bersepakat untuk menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran Mangku Jaya Kusuma. Nasi telah menjadi bubur, hingga berkat peristiwa itu, akhirnya Pangeran Mangku Jaya Kusuma menjadi Sultan berikutnya pada tahun 1900 – 1908 dengan mengenakan gelar Sultan Ibrahim Khaliluddin.
Kelicikan dan yang dilakukan oleh Pangeran Mangku Jaya Kusuma tersebut akhirnya memancing berbagai macam reaksi di kalangan para kaum bangsawan dan rakyat di kerajaan Pasir. Mereka menentang pengangkatan dan penobatan Pangeran Mangku Jaya Kusuma sebagai Sultan Pasir, karena dinilai masih banyak bangsawan lain yang masih lebih baik dan berhak. Akibat pristiwa itu, mengakibatkan terseok seoknya roda pemerintahan Pasir.
Terseok-seoknya dan ketidak lancaran roda pemerintahan Pasir tersebut, justru membuat Sultan Ibrahim Khaliluddin justru bertindak ngawur, bahkan punya niatan untuk menjual Kerajaan Pasir kepada Belanda dengan menerima ganti rugi berupa uang. Sementara pihak Belanda dengan adanya niatan Sultan Ibrahim Khaliluddin yang akan menjual Kerajaan Pasir tersebut sangat menyetujuinya, hingga akhirnya pihak Belanda mengeluarkan uang dengan jumlah total sebesar 377.267.
Uang tersebut oleh Belanda langsung diserahkan kepada Sultan Ibrahim Khaliluddin dan bangsawan Pasir pada bulan Oktober tahun 1908. Dengan selesainya serah terima tersebut, berakhir pula masa Kerajaan Pasir.
Sementara para bangsawan dan rakyat Pasir yang tidak menyetujui penjualan negeri warisan para leluhurnya tersebut melakukan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Nata dan Pangeran Aji Nyesei.
Kini Kerajaan Pasir telah berubah fungsi menjadi Museum Sadurengas yang di pugar pada tahun 2008 silam. Berdasarkan catatan, Museum Sadurengas menempati rumah bekas salah satu Sultan Pasir yang dahulu pernah berkuasa, yakni Sultan Aji Tenggara (1844 – 1873).
Pada awal abad ke 19, dahulunya bangunan yang kini telah berubah menjadi Museum tersebut menjadi Istana Sultan Ibrahim Khaliludin. Dahulu Istana Kerajaan Pasir berbentuk rumah panggung, dalam bahasa Pasir adalah “Kuta Imam Duyu Kina Lenja” yang berarti sebuah rumah kediaman seorang pemimpin bertingkat atau tinggi.
Sementara Istana Kerajaan Pasir berposisi menghadap ke barat ke arah tepi sungai Kadilo yang dahulu merupakan sarana tranportasi yang sangat vital tatkala zaman keemasan Kerajaan Pasir.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan dan Kesultanan Nusantara