Masyarakat Pasundan, selama ini mungkin banyak mendengar cerita tentang adanya harimau gaib yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari Prabu Siliwangi. Harimau gaib ini digambarkan sebagai hewan berbulu loreng, atau ada juga yang mengatakan berbulu putih dan disebut sebagai Lodaya.
Disamping harimau loreng dan Lodaya, yang diyakini sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikut setianya, sesungguhnya masih ada jenis harimau gaib lainnya, yakni harimau yang berbulu hitam pekat. Nah, jenis harimau hitam inilah yang mungkin masih kurang diketahui seperti apa asal-usulnya.
Meski terkesan musykil, namun bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya yang tinggal di daerah pinggiran, masih meyakini kalau kesemua jenis harimau gaib tersebut hingga kini masih ada dan kerap menampakkan wujudnya di tempat-tempat tertentu. Fenomena itu utamanya kerap terjadi di sekitar Leuweung Sancang, Garut Selatan. Menurut cerita, di Leuweung Sancang inilah Prabu Siliwangi bersama para pengikut setianya memutuskan jalan gaib dengan cara ngahyang atau moksa.
Lantas, bagaimana asal-usul harimau hitam dari Pajajaran itu?
Hasil dari jelajah dua bulan yang lalu ke belahan tatar sunda dapat beberapa cerita menarik, salah satunya tentang harimau hitam ini. Sosok harimau hitam yang kini dijadikan lambang kesatuan kepolisian daerah di Jawa Barat ini tidak lain mulanya berasal dari salah seorang tokoh pengabdi setia di Pajajaran.
Syahdan, Saat Prabu Siliwangi berkuasa, sang tokoh mendapat kepercayaan jabatan sebagai pejabat tinggi keamanan, atau setara dengan Panglima Polri pada saat sekarang. Dialah petinggi polisi pertama yang sempat diangkat dilingkungan Kerajaan Pajajaran. Tokoh dimaksud tak lain adalah yang namanya populer dengan sebutan Eyang Langlangbuana. Dia pertama kali ditunjuk sebagai pengabdi polisi di lingkungan kerajaan, dan bersamanya sempat pula ditunjuk dua orang ajudannya, yaitu yang bernama Eyang Jagariksa dan Eyang Jagapirusa.
Disebutkan, ketiga tokoh inilah yang bertanggungjawab terhadap keamanan di lingkungan dalam kerajaan. Mereka juga memiliki pos pusat di Pakuan, juga sejumlah pos-pos jaga di kawasan Sukadana, Cibitu dan Cianjur.
Eyang Langlangbuana, atau yang dikenal pula sebagai Eyang Jagaraksa atau Jagasatru, menurut sejarah, sebenarnya bukanlah orang Pajajaran asli. Dia adalah pengembara yang berasal dari Kerajaan Bugis, Makasar. Kemudian dia menikah dengan wanita di Pajajaran.
Sebelum singgah di Pajajaran, Eyang Langlangbuana sempat pula mengembara ke belahan bumi lain. Seperti ke Tanah Arab yang lamanya 77 tahun, dan terakhir ke Tanah Jawa, atau dalam hal ini adalah Pajajaran.
Masih dalam cerita misteri, Prabu Siliwangi dan segenap pengikut setianya akhirnya sepakat memilih jalan gaib untuk mati secara moksa. Sementara. saat mendapati tekanan berat dari pihak musuh, Eyang Langlangbuana memilih jalan akhirnya sendiri, yaitu meninggal secara wajar.
Berdasarkan data yang ada, makam Eyang Langlangbuana berada di kawasan Cibule, di kaki Gunung Pangrango, Cianjur. Sementara, berkaitan dengan cerita keleluhuran Eyang Langlang buana yang nama besarnya kini diabadikan sebagai simbol kesatuan kepolisian Jawa Barat, terungkap sebuah informasi kalau ternyata senjata pusakanya adalah sebilah pedang yang panjangnya sekitar 80-100 centimeter. Pusaka ini sekarang berada di tangan seorang ahli waris yang asli Cirebon.
Karena bahannya yang bukan sembarangan, pusaka Eyang Langlang buana tersebut menyimpan tuah tertentu. Pedang tersebut berkhodam seekor harimau gaib berbulu hitam, jelmaan dari Eyang Langlangbuana. Dari fisik secara umum, pedang tersebut merupakan perangkat beladiri yang sangat ringan untuk dimainkan. Menurut pengakuan beliau (sang ahli waris) pedang tersebut merupakan warisan dari para leluhurnya yang notabene adalah trah bangsawan dari dinasti Cirebon yang memang dalam riwayat sejarahnya berkait erat dengan sejarah Pajajaran.