Desa Ganjuran awal tidak lepas dari peranan para cikal bakalnya. Dusun ini dulu terkenal di seputar Yogyakarta karena terdapat pabrik gula milik Belanda, dinamai Pabrik Gula Ganjuran Gondang Lipuro. Didirikan oleh Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer sekitar tahun 1912 yang secara otomatis telah membuka dusun Ganjuran menjadi semacam wilayah industri yang berbasis pertanian. Tapi jauh sebelum itu, Ganjuran kental dengan sejarah awal berdirinya Keraton Mataram.
Gondang Lipuro adalah pabrik gula di Ganjuran yang pernah mengalami masa keemasan pada tahun 1918-1930. Saat itu, atas inisiatif Schmutzer bersaudara dapat didirikan 12 sekolahan di sekitar pabrik gula Ganjuran.
Selain itu dia juga mendirikan gereja yang kemudian terkenal dengan nama Gereja Candi Hati Kudus Yesus. Tidak mau ketinggalan istri Julius Schmutzer pun mendirikan poliklinik yang semula untuk intern pabrik gula, dalam perkembangannya mengilhami berdirinya rumah sakit umum yang sekarang terkenal dengan nama Rumah Sakit Umum Panti Rapih.
Pada clash dengan kolonial Belanda pabrik gula ini turut dibumihanguskan gerilyawan Indonesai agar tidak ditempati oleh Belanda kembali.
Jauh sebelum Schmutzer datang ke Ganjuran, kawasan ini merupakan bagian dari Alas Mentaok. Keberadaannya tidak terpisahkan dengan suatu wilayah yang dalam Babad Tanah Jawa dikenal dengan nama Lipura.
Di Lipura inilah Panembahan Senopati pernah melakukan laku spiritual dan mendapatkan wisik untuk mendirikan pusat Keraton Mataram. Tempat Panembahan Senopati teteki ini sekarang terkenal dengan peninggalannya yang berupa batu berbentuk kotak yang sering disebut Watu Gilang. Letak Watu Gilang ini berada di Dusun Janggan, Gilangharjo, Bambanglipuro, Bantul.
Semula Panembahan Senopati pernah punya niat mendirikan pusat pemerintahan Keraton Mataram di tempat dia teteki. Akan tetapi letak dusun Janggan ini tidak terlalu jauh dengan wilayah Mangir. Oleh karena itu Ki Ageng Pemanahan menasihati Panembahan Senopati agar jangan mendirikan keraton di Gilangharjo.
Jika hal ini dilakukan, maka Panembahan Senopati akan selalu berhadapan dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Sekalipun Panembahan Senopati memiliki senjata sakti berupa tombak bernama Kyai Ageng Pleret, tetapi Ki Ageng Mangir pun memiliki senjata sakti yang juga berupa tombak bernama Kyai Baruklinting.
Sedigdaya apa pun orang, tidak akan kuat menerima tusukan tombak Kyai Baruklinting. Demikian Sunan Kalijaga dalam Babad Mangir pernah menyatakan hal tersebut. Untuk itulah Panembahan Senopati mengurungkan niatnya untuk mendirikan keraton di wilayah ini. Dengan demikian Kyai Pleret batal berhadapan dengan Kyai Barklinting
Menurut sumber setempat Ganjuran juga pernah menjadi tempat pengasingan pasangan kekasih Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan Rara Pembayun. Peristiwa percintaan semacam Romeo-Juliet ini dipercaya mengilhami Keraton Mataram untuk menciptakan sebuah gending sakral yang dinamakan gending Kala Ganjur.
Istilah Kala Ganjur ini dipercaya pula menjadi cikal bakal penamaan dusun Ganjuran yang secara administratif terletak di Kalurahan Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul.
Selain itu istilah kala sering diartikan sebagai tali atau pengikat dan ganjur diartikan sebagai inti atau dasar. Inti yang dimaksudkan di sini adalah inti kehidupan manusia dalam menempuh hidup bersama.
Jadi secara utuh Kala Ganjur berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Tak aneh bila kemudian gending sering digunakan mengiringi kirab pengantin dalam masyarakat Jawa.
Di balik perseteruan Mangir-Senopati ini di belakangnya ternyata masih menyisakan kelembutan akan kasih. Artinya, permusuhan politik ini sekalipun harus mengorbankan nyawa dan wilayah Mangir, namun tidak menghapus kecintaan trah Mataram pada keturunan dan kerabatnya. Penciptaan gending oleh pihak keraton tersebut dapat diduga menjadi salah satu tanda cinta bagi sepasang kekasih yang terpaksa dikorbankan demi kepentingan politik Mataram. Keberadaan gending Kala Ganjur itu sendiri sampai sekarang masih abadi seabadi percintaan Mangir-Pembayun yang pernah diasingkan di Ganjuran.
Kecuali versi-versi di atas masih ada versi lain menyangkut latar belakang keberadaan Dusun Ganjuran ini. Menurut Bapak dan Ibu Madiyo Utomo (84) yang menjadi jurukunci makam Ganjuran, dusun Ganjuran terjadi atau ada karena pada mulanya ada seorang tetua dusun yang bernama Kyai dan Nyai Ganjur. Dalam pengucapan masyarakat setempat Kyai dan Nyai Ganjur ini sering disebut pula dengan nama Kyai dan Nyai Jo Ganjur. Mungkin nama Jo itu merupakan kependekan dari nama Joyo. Teguh Rukmana