Ngelmu lan kasekteni iku ora kanggo pribadi, nanging kanggo nulung marang sapada-pada. (Ilmu dan kesaktian itu bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk menolong sesama).
Prabu Jayabaya, merupakan tokoh penting dalam dunia Kejawen. Ia merupakan seorang raja yang masyhur dari kerajaan Kediri (1135 – 1157 M). Prabu Jayabaya merupakan raja yang bijaksana dan memiliki pandangan yang futuristik. Kewaskitaannya, mewujud dalam “ayat-ayat” spiritual dan dipercaya akan benar-benar terjadi.
Sabda-sabda dari Prabu Jayabaya dihafal dan disebarkan para pengikutnya secara lesan maupun tertulis. Manuskrip-manuskripnya mampu menjadi rujukan dan prediksi masa depan para pengagumnya. Sampai saat ini Prabu Jayabaya menjadi legenda yang setiap ramalannya dianggap titis, dan menyimpan rahasia kebijaksanaan bagi siapapun untuk menjadi hidup.
Pada saat itu, sang Prabu harus menghadapi dunia yang konon disebut sebagai ‘Jaman Kaliyuga’, dimana tanda-tanda akan berakhirnya sebuah dinasti sudah muncul. ‘Jaman Kaliyuga’ melanda kerajaan Kediri dan membuat kerajaan itu hancur pada sekitar tahun 1222 M. Semua tanda-tanda muncul karena Prabu Kertanegara atau biasa dikenal dengan Prabu Dandanggendis, seringkali bersikap lalim dan sewenang-wenang sehingga menyakiti hati para Brahmana. Akibatnya, sering terjadi bencana alam, kekacauan, dan perang saudara.
Ken Arok yang merupakan penguasa Tumapel setelah menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, serta memperistri Ken Dedes, melihat kerajaan Kediri yang semrawut dan di ambang kehancuran. Ken Arok mencoba memanfaatkan konflik internal kerajaan Kediri. Singkat cerita Ken Arok berhasil membuat para Brahmana kerajaan Kediri bangkit dan membantu Ken Arok untuk menduduki singgasana Kediri. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 1222 M kerajaan Kediri berhasil di caplok dan ditumbangkan Tumapel.
‘Jaman Kaliyuga’ merupakan ironi sebuah negeri, mungkin begitu yang dipikirkan sang prabu. Ia sadar, bahwa keperkasaan Kediri tinggal menunggu waktu saja. Bagaimana tidak, disaat kerajaan-kerajaan lain berpacu dalam membasmi kemiskinan, meningkatkan pendidikan dasar dan kesehatan rakyatnya, di kerajaannya waktu malah berputar sebaliknya. Sang prabu berpikir, saat itu air tidak lagi mengalir dari sungai ke lautan, melainkan lautan yang mengalir ke sungai.
Idiom ‘jaman Kaliyuga’ mungkin tepat untuk menggambarkan keadaan negeri kita saat ini. Sebagai sebuah negeri atau negara lebih tepatnya, Indonesia memang sedang menyerempet pada bahaya kehancuran. Vivire Pericolosa, atau sedang menyerempet-rempet bahaya. Kehancuran rasa nasionalisme, kehancuran moral, kehancuran budaya baik itu atas nama kesucian agama, sukuisme, politik dan lain sebagainya. Sungguh, jika pemerintah hanya membiarkan segala permasalahan berlarat-larat maka yang akan terjadi di negeri ini hanya kehancuran total. Lihat saja bencana alam, rasialisme, pembunuhan etnis, perang atas nama agama, mental korup para abdi negara, kekacauan politik, seakan menjadi budaya baru yang menggeser budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang.
Sebagai sebuah negara, Indonesia harus berhati-hati. Harus belajar banyak pada prahara-prahara besar sejarah mala lalu. Negara ini sering terperosok dan jatuh dalam lubang kesalahan yang sama. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Kondisi ‘Jaman Kaliyuga’ pada saat melanda dan kemudian menghancurkan kerajaan Kediri, sangat relevan dengan apa yang dialami bangsa ini. Saat ini.
Jika bangsa-bangsa lain sibuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berlomba-lomba menyediakan ruang publik yang nyaman. Memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal. Memberikan kesejahteraan bagi rakyat dengan membangun tempat-tempat penampungan para tunawisma, serta melakukan terobosan di bidang ilmu pengetahuan. Yang terjadi di negara kita malah sebaliknya, banyak pejabat negara yang memakan uang rakyatnya sendiri. Perkelahian bahkan saling bunuh sesama saudara sebangsa. Prinsip-prinsip luhur seperti Pancasila sebagai filosofi dasar negara, menguap dan semakin ditinggalkan.
Parahnya, keterpurukan yang melanda negeri ini ternyata dimanfaatkan oleh negara lain. Kita harus tetap waspada, serta sadar bahwa musuh yang sebenarnya itu datangnya dari luar, bukan dari negeri sendiri. Jika sampai saat ini kita masih disibukkan memerangi saudara sendiri, maka sudah saatnya untuk bersatu dan mengamankan tanah air agar tidak jatuh dan disetir negara lain. Seperti ketika Tumapel mencaplok kerajaan Kediri.
Meski dilanda ‘jaman Kaliyuga’, bukan berarti tidak ada secercah harapan untuk negeri ini. Karena masih ada harapan yang lebih baik ke depan. Bahkan sang Prabu sendiri meramalkan, akan datang ‘jaman Kretayuga’ atau ‘Kalakreta’, setelah ‘jaman Kaliyuga’. ‘Jaman Kretayuga’ merupakan jaman yang gemilang, jaman yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, jaman keemasan dimana rakyatnya makmur dan sejahtera. Tapi menurut sang Prabu, perubahan jaman itu tidak terjadi begitun saja, melainkan melalui tangan sang pembebas atau yang disebut Ratu Adil. Sekarang yang jadi pertanyaan, siapa yang akan menjadi Ratu Adil negeri ini? Danang Sutawijaya