Keberadaan sebilah keris di kalangan masyarakat Jawa masih menempati kedudukan yang tidak bisa dipandang remeh. Banyak orang berlomba-lomba mencari keris dengan pamor yang mereka senangi, sekadar untuk koleksi. Ada juga yang mengoleksinya untuk melestarikan budaya leluhur.
Bahasan tentang keris mula-mula tertulis dalam Serat Pustakaraja Purwa pada abad ke-12. Dalam serat tersebut tertulis, keris untuk pertama kalinya dibuat di Tanah Jawa pada tahun Anembah-Warastraning-Rat, yakni tahun Jawa 152 atau 230 Masehi. Keris tersebut dibuat di Kerajaan Medhangkamulan pada masa pemerintahan Mahadewa Buda.
Keris merupakan senjata yang untuk pertama kali dibuat oleh Mpu Ramadi, dengan bentuk dua bilah keris lurus, yakni Sang Larngatap dan Sang Pasopati. Pembuatan senjata tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan.
Bagi masyarakat Jawa, keris memang bukan hanya dibutuhkan sebagai senjata dan tosan aji yang berfungsi sebagai sipat kandel untuk pagar. Keris telah menjadi bagian dari kehidupan simbolik yang lebih luas, dengan sifat-sifat yang berhubungan dengan alam makrokosmik.
Keris dimaknai sebagai simbol kesatuan dari manunggaling kawula-gusti, yang diungkap dengan pernyataan “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Pengertian ini bermaksud, bahwa keberadaan keris merupakan suatu pasemon terhadap hakekat kehidupan manusia “apa lan piye ta, sakjane urip iku”.
Keris diharapkan mampu menjadi peringatan kepada pemiliknya, bahwa benda itu memiliki kekuatan pengingat agar manusia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakatnya. Hal itu tak terlepas dari ketajaman bilah keris yang ditentukan oleh kesadaran manusia, yang akan terlihat dari indikasi sikap dan perilakunya (solah muna kaliyan mumpunipun) yang disesuaikan dengan ketajaman etis (raos pangraos ingkang landhep).