Kawasan danau yang bernaung di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang, ini, disebut banyak orang sebagai Rawa Pening. Dengan luas 2.670 hektare, Rawa Pening menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru.
Percaya atau tidak, seperti halnya situs-situs kuna lainnya di Jawa Tengah, Rawa Pening menyimpan legenda bagi masyarakat di sekitar. Legenda ini berkait erat dengan sosok Baru Klinting, ular naga yang terlahir dari Ki Ajar dan Nyai Selakanta, dua tokoh yang disegani di desanya. Nyai Selakanta yang mengandung harus menerima kenyataan jika anaknya berubah wujud menjadi ular, tepat setelah ia alpa menaruh pisau di pangkuannya ketika bersih desa.
Menginjak usia remaja, Baru Klinthing menemui ayahnya di pertapaan yang berada di lereng gunung Telomoyo. Baru Klinthing kemudian diuji untuk bertapa sembari melingkarkan tubuhnya di gunung Telomoyo. Sayang, wadag Baru Klinthing harus dipotong-potong warga desa di lereng gunung yang akan melakukan pesta sedekah bumi. Mereka tak tahu bahwa yang mereka sembelih adalah putra Ki Ajar yang tengah bertapa.
Syahdan setelahnya, Baru Klinthing yang berganti wujud menjadi bocah bajang yang buruk rupa, turun ke desa yang tengah berpesta itu. Dia meminta makanan, namun tak seorangpun memberinya. Baru ketika dia meminta kepada seorang nenek tua, si nenek memberi sepotong daging untuk Baru Klinthing. Baru Klinthing kemudian berpesan kepada si nenek agar menaiki lesung sebagai perahu dan menjadikan centong nasi sebagai dayung jika terjadi banjir bandang.
Keangkuhan warga desa yang tak menerima kehadiran Baru Klinthing, menjadikan Baru Klinthing membuka sayembara. Siapapun yang bisa mencabut lidi yang ditanamnya, maka mereka benar-benar warga yang tak tertandingi. Namun apa daya, mulai dari kaum remaja sampai tua, tak ada yang sanggup mencabut lidi itu. Merasa warga desa sudah kalah, hanya dengan sekali cabut, Baru Klinthing berhasil menarik lidi dari tanah.
Seketika itu air bah terus menyembur dari lubang bekas tancapan lidi. Desa yang dipenuhi dengan kesombongan itupun luluh lantak. Kecuali sang nenek yang telah memberi makan untuk Baru Klinthing. Mereka berdua pun selamat dari air bah yang kemudian menjelma menjadi Rawa Pening. Konon, bekas lidi dan tanah yang tercabut, menjelma menjadi Gunung Kendhalisadha.
Siapa Sosok Sang “Nenek” Baru Klinthing?
Kalau Anda berjalan-jalan ke Kabupaten Demak, silakan luangkan waktu sejenak ke makam Sentana Ratu yang berlokasi di belakang Masjid Agung Demak. Di sana disemayamkan “nenek” Baru Klinting yang telah memberinya makan, yang disebut dengan Nyai Lembah. Makam beliau terlindungi oleh cungkup yang nampak menonjol dibanding makam-makam yang lain. Bahkan konon, lesung yang tinggal berwujud papan juga masih bisa ditemui di cungkup tersebut.
Konon, Nyai Lembah ikut berkiprah sebagai salah satu penasehat untuk menentukan letak Masjid Agung Demak. Lokasi pertama yang akan didirikan masjid adalah sebuah daratan yang dikenal dengan nama Sawah Mendung. Tetapi atas petunjuk Nyai Lembah, tempat ibadah yang akan didirikan sebaiknya berada di tempat tumbuhnya serumpunan tanaman Glagah Wangi. Sekarang, bekas lokasi itu telah menjadi tempat pengimaman Masjid Agung Demak.