Tradisi Ruwatan, Ritual Khusus Masyarakat Jawa Membuang Sukerta

Tradisi Ruwatan, Ritual Khusus Masyarakat Jawa Membuang Sukerta

Pangruwatan  sukerta adalah tradisi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa untuk pembersihan sekaligus pencegahan diri dari malapetaka. Pangruwatan dilaksanakan dengan menanggap dalang ruwat khusus..

Oleh sebab itu, dibutuhkan dalang yang mumpuni untuk tugas ruwatan ini. Hanya ada beberapa jumlah dalang saja dalang yang masuk dalam kategori ini. Salah satunya adalah Ki Dalang KRT. Gunarto Gunotalijendro SH.MM

Istilah ruwatan berarti luwar saka panandhang, luwar saka wewujudan kang salah (terbebas dari penderitaan, terbebas dari wujud yang salah). Yang menang dengan wujud yang salah adalah orang-orang yang salah kelahirannya.

Orang-orang ini dalam kemenangan adalah anak tunggal ( ontang-anting ), dua bersaudara lelaki-perempuan ( Gendhana-Gendhini ), anak kembar, lima bersaudara lelaki semua atau perempuan semua ( pandhawa ), anak lelaki diapit perempuan atau anak perempuan diapit lelaki, dan lain sebagainya.

Masuarakat Jawa mempercayainya bahwa orang-orang yang masuk dalam kategori ini tidak akan selamat atau menjadi “santapan” Batara kala. Orang-orang ini disebut sebagai wong sukerta . Untuk menghilangkan pengaruh buruk tersebut maka diadakanlah ruwatan sukerta.

Selain untuk meruwat orang yang salah kelahirannya, ruwatan sukerta juga digunakan sebagai fasilitas penyucian diri dan penyelamatan dari kesalahan yang dilakukan seseorang dalam peralihan.

Upacara ruwatan dilaksanakan dengan menggelar cerita wayang kulit purwa dengan lakon Murwakala yang menceritakan kelahiran Bathara Kala yang salah kedaden (menyalahi aturan). Lakon Murwakala dianggap lakon yang sakral dan hanya dipentaskan saat upacara ruwatan. Artikel ini memuat simbolis yang menggambarkan manusia untuk melepaskan diri dari kesulitan besar yang dihadapinya.

Singkat cerita, lakon ini menggambarkan Batara Guru yang tak dapat menahan berahinya terhadap Batari Uma, berbicara, kompilasi sedang berkeliling dunia. Karena ditolak tidak tepat maka Batari Uma menolak hasrat ditolak. Dibatalkan,  kama (mani) Batara Guru keluar dan jatuh ke samudra.

“Kama salah” Batara Guru yang telah jatuh tempo lalu berubah menjadi raksasa yang dinamakan Batara Kala. Kelahiran Batara Kala menggoncangkan kahyangan. Batara Kala lalu pergi ke kahyangan untuk bertemu Batara Guru dan meminta siapa yang bertemu.

Batara Guru memberi tahu apa yang harus dilakukan dan menempatkannya di Nusakambangan untuk merajai para makhluk halus. Batara Kala menyanggupi asal diberikan jatah makanan. Oleh karena itu, Batara Guru menyanggupi dan memberikan jatah makanan, yaitu manusia yang memeiliki golongan  sukerta.

Sepeninggal Batara Kala, Batara Narada menegur Batara Guru. Janji Batara Guru untuk memberikan jatah makan untuk Batara Kala dalam bentuk orang sukerta akan membuat kesalahan dunia. Batara Guru sadar akan kesalahannya. Sebagai gantinya, ia mengubah diri menjadi Dalang Kandhabuwana dan menggagalkan rencana Batara Kala untuk memangsa manusia.

Lakon inilah yang digunakan dalang ruwat sebagai pemimpin upacara untuk meruwat. Mantram yang dibacakan Sang Dalang saat dirinya memerankan Dalang Kanhabuwana dipercaya mampu mengusir kutukan Batara Kala yang dibutuhkan oleh orang sukerta .

Namun, dari pelajaran yang tidak bisa kita manfaatkan, ritus ruwatan, ada pelajaran yang bisa dipetik. Lakon Murwakala berkisah bagaimana menghasilkannya Jika seorang anak lahir dari proses yang salah. Batara Guru disetujui untuk melayaninya. Nafsu berahi yang tak terkendali inilah yang mewujud sebagai Batara Kala.

Hal ini memberi pesan tentang hubungan intim suami-istri adalah peristiwa yang sakral yang harus berlandaskan pada cinta di kedua belah pihak. Hubungan yang hanya dilandaskan pada nafsu badaniah hanya akan menghasilkan anak yang wataknya kurang baik.

Ritus ruwatan juga membawa manusia untuk selalu mawas diri. Kesalahan yang kita buat, baik yang disadari maupun yang tidak, akan berakibat buruk pada kehidupan kita di kemudian hari. Mawas diri membawa kita pada sifat kehati-hatian dalam membawa diri. Tolak, sikap  grusa-grusu  (tindakan tanpa berpikir panjang) akan membuat kita celaka / tidak selamat.

Acara ruwatan yang sudah ada sejak zaman Majapahit, seperti yang tergambar di relief candi Sukuh di Jawa Tengah dan candi Tegowangi di Jawa Timur, sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa. Menurut Sri Teddy Rusdy dalam bukunya Ruwatan Sukerta danKi dalang  KRT. Gunarto Talijendro SH, MM, selamat dari upacara ruwatan menjadi pembicaraan bagaimana sebagian besar orang Jawa masih menghidupi tradisinya.  Agus TW